UMM Ngaji ke Gus Baha, Ansor Ziarah Makam Mbah Dahlan
Palu-Palu. Semarang-Semarang. Dulu-dulu. Sekarang-sekarang. Zaman berubah. Pola pikir manusia pun bisa dinamis.
Pola hubungan warga NU-Muhammadiyah pelan-pelan juga mengalami perubahan. Belakangan ada percikan-percikan cahaya yang memberikan isyarat kalau hubungan 2 ormas Islam terbesar itu semakin mesra. Sementara, perdebatan-perdebatan soal furu’iyah yang dulu sangat marak, belakangan semakin redup. Di basis bawah mungkin masih ada. Namun, di level elite rasanya semakin tidak terdengar lagi. Mulai terbangun kesadaran kalau perbedaan yang ada berada di level ranting (furu’iyah), bukan di batang utama.
Fenomena itu, bagi saya sangat positif. Patut diapresiasi. Apalagi, kejutan-kejutan juga diberikan oleh mereka. Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada 14 Juli 2020 lalu secara mengejutkan menggelar acara, “Ngaji Bareng dengan Gus Baha”. Tidak main-main, karena Gus Baha’ memang berprinsip bahwa timba harus mendatangi sumur, orang yang mau belajar harus mendatangi orang yang mengajar, maka rektor UMM bersama jajaran pejabat UMM lainnya, “harus rela” ke Pesantren Gus Baha’ di Desa Narukan, Kragan, Rembang. Padahal Rembang-Malang bukanlah jarak yang dekat. Setidaknya butuh waktu 4-5 jam perjalanan darat.
"Itu khan, langkah mereka mencari mahasiswa," komentar seorang teman yang saya beritahu tentang acara tersebut. Mungkin benar. Tapi, menurut saya, acara yang mengangkat tema, "Meneguhkan Islam Rahmatan Lil Alamin", itu tetaplah fantastis dan langkah berani dari teman-teman di Muhammadiyah, khususnya UMM. Fantastis, karena telah mampu memberikan kejutan. Berani, karena tidak menutup kemungkinan semua warga Muhammadiyah belum tentu sepakat dengan langkah itu. Kelompok yang nyinyir mungkin tetap ada.
Gus Baha’ memang belakangan tampil menjadi sosok ulama muda yang sangat populer di dunia medsos. Artinya, mungkin ada pula yang menduga kalau UMM sedang “nebeng viral”. Bisa saja! Tapi, lagi-lagi apapun motivasinya, fenomena itu tetaplah indah. Jika hubungan NU-Muhammadiyah seburuk zaman orba, misalnya, rasanya tidak mungkin hal itu terjadi.
Pelaksanaan acara Ngaji Gus Baha’ saya anggap juga sukses besar. Kegiatannya berlangsung gayeng. Gus Baha’ berkali-kali menyampaikan guyonan ala kiai NU yang langsung disambut gerr... jemaah yang hadir. Renyah. Akrab. Terasa tidak ada jarak. Meski penuh gelak tawa, subtansi pengajian juga tidak berkurang kualitasnya. Gus Baha’ mengaduk-aduk logika keberagamaan hadirin.
Gus Baha’ mengingatkan bahwa orang-orang cerdas, dalam banyak hal ternyata sering terdikte orang bodoh. Mengapa? Karena si orang pinter itu, melakukan sesuatu bukan karena melaksanakan perintah Allah. Tapi lebih karena ingin dipuji manusia. “Harusnya, orang pinter itu melakukan sesuatu karena tahu kalau itu diperintahkan Allah. Kalau memang itu perintah Allah, ya lakukan saja. Tidak usah mikir apakah itu akan membuat masyarakat senang atau tidak,” tandas Gus Baha’.
Soal khilafiyah, Gus Baha’ hanya sedikit menyinggung soal penetapan awal Ramadhan. Di mana, NU menggunakan prinsip imkanurru’yah. Sedang Muhammadiyah menggunakan prinsip wujudul hilal.
"Ketika njenengan ke rumah saya, tapi saya tidak tahu kedatangan njenengan itu, sehingga saya tidak menyambut dan tidak memberi penghormatan, apa saya salah? Tidak khan? Nyatanya saya memang tidak tahu. Sebaliknya, ketika njenengan mengatakan, tapi saya benar-benar datang ke rumah njenengan lho Gus, apakah perkataan njenengan itu salah? Tidak khan? Wong hakikatnya memang datang. Jadi, sama benarnya," kata Gus Baha’ memberikan perumpamaan. Dalam masalah fiqih beda intrepretasi seperti itu memang potensial terjadi. Makanya, madzhab dalam fiqih akhirnya bermunculan, meski yang populer hanya 4 madzhab.
Bila UMM memberi kejutan dengan ngaji ke Gus Baha’, para aktivis GP Ansor juga memberikan kejutan dengan menziarahi makam KH Ahmad Dahlan di Jogjakarta. Beberapa kali kegiatan itu dilakukan. Ziarah itu adalah bentuk penghormatan kepada pendiri Muhammadiyah itu. Acara halal bi halal bersama NU-Muhammadiyah juga pernah dilakukan oleh pengurus NU-Muhammadiyah Malang pada Idul Fitri 1440 H lalu.
Fenomena-fenomena di atas benar-benar indah. Pola hubungan baru NU-Muhammadiyah telah terbangun. Ini beda jauh bila dibandingkan dengan era pra kemerdekaan, di mana gerakan pembersihan TBC (Tahayul Bid’ah dan Churafa) masih digalakkan, seperti termuat di tulisan bagian 3. Juga di era Orde Baru, di mana, pemerintah Soeharto masih menerapkan politik belah bambu. Satu diangkat, satu diijak.
Pola hubungan baru itu, tentu tidak terjadi begitu saja. Namun, di internal NU-Muhammadiyah pasti telah terjadi perubahan pola pikir. Munir Mulkhan menjelaskan, sejak awal 1990 di tubuh Muhammadiyah terjadi spiritualisasi dan sufistisasi syariah. “Puncaknya tahun 1995, ketika lembaga tarjih diubah menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, dengan menempatkan fatwa syariah sebagai bagian kecil di dalamnya,’’ tulis Munir dalam buku, Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan.
Bersamaan itu, juga dirumuskan dakwah kultural yang selama ini menjadi metode dakwah NU. Itu semua, tulis Munir, sebagai bentuk kritik atas doktrin puritanisme dan Wahabisme di tubuh Muhammadiyah. Sayang, gerakan ini tidak berjalan mulus. Pada Muktamar 2005, muncul romantisme untuk menghidupkan kembali puritanisme dan Wahabisme. Dan puncaknya, lembaga majlis Tarjih dikembalikan ke posisi semula.
"Gerakan romantisme ini terutama dimotori aktor-aktor politik bersama generasi baru lulusan Timur Tengah, yang kecewa terhadap posisi politik Muhammadiyah di pentas politik nasional," lanjut Munir.
Namun, menurut saya, gerakan romantisme itu tidak sepenuhnya bisa mengembalikan atau mengubah sikap warga Muhammadiyah seperti di era-era sebelumnya. Beberapa tokoh seperti Buya Syafii Ma’arif tetap konsisten pada sikapnya untuk mengembangkan dakwah kultural yang damai.
Jika UMM saat ngaji dengan Gus Baha’ megangkat tema, Mengukuhkan Islam Rahmatan Lil alamanin, menurut saya, itu cermin bahwa UMM adalah bagian dari organ Muhammadiyah yang tetap berada di jalur dakwah kultural. (bersambung)
*). Akhmad Zaini, mantan Jurnalis Jawa Pos, kini khadam pendidikan di IAINU Tuban.
Advertisement