Umat Hindu Sambut Baik Keputusan NU Soal Sebutan Kafir
Sabha Walaka Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, I Nyoman Sutantra menyambut baik keputusan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), tentang penyebutan kafir. Lantaran sebutan kafir tersebut berpotensi menimbulkan ketersinggungan.
"Iya baik, kalau itu kan (kafir) sering membuat tersinggung. Tapi kalau kita tak pernah tersinggung untuk itu," kata Sutantra, saat ditemui di Surabaya, Rabu, 6 Maret 2019.
Sutantra menyebut, di ajaran Hindu sendiri tak pernah mengajarkan perlakuan atau sebutan kafir. Hindu mengajarkan untuk hidup rukun sesama manusia, apapun golongan, warna kulit, ataupun kepercayaannya.
"Kita itu harus hidup rukun dan damai tidak pernah menyebut yang lain itu jelek atau apapun, itu yang disebut Tri Hita Karana," katanya.
Bagi dia, pada hakikatnya, seluruh agama adalah sama, yakni sama-sama memiliki tujuan baik. Yang membedakan, kata Sutantra hanyalah pada penyebutan tuhan, di masing-masing agama.
"Tuhan itu kan satu. Agama lain menyebut Allah, kita menyebut Sang Hyang Widhi, ada yang menyebut Kristus itu ndak masalah," kata Sutantra.
"Tuhan itu tetap satu makanya Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita yakin tuhan itu satu jangan diperebutkan," tambahnya.
Tuhan kata dia juga tak membuat agama untuk mengkotak-kotakkan manusia, justru, agama baginya adalah pemersatu manusia dalam naungan kebajikan
"Justru agama dibuat seperti 'las' kalau ada yang anu menyambungkan dengan yang lain itu," katanya.
Di Hindu, kata dia juga tak ada sebutan khusus semacam kafir, untuk orang yang beragama lain, ia mengatakan, semua manusia memiliki jiwa yang sama dan bersaudara.
"Tidak ada, ya tetap kan intinya kita semua manusia, di Hindu istilahnya Tat Twam Asi, anda adalah sang jiwa, saya jiwa, yang berbeda hanya badannya jiwanya sama di dalam. Kita bersaudara semua," katanya.
Sebelumnya, di Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar PBNU, di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019, menyarankan agar Warga Negara Indonesia yang beragama non-Muslim tak lagi disebut sebagai kafir. Kata kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis. (frd)