Umar Kayam dan 'Islam Beneran', Ini Anekdot Penuh Pesona
Kisah tentang tokoh tetap menarik dan menjadi penyegar dalam pergaulan. Demikian anekdot menjadi bumbu penyedap dalam keseharian kita.
Umar Kayam, seorang sosiolog dikenal sebagai sastrawan Indonesia modern. Selama hidupnya menjadi perhatian menarik, dan mengundang sikap penuh pesona. Di luar sastra, Umar Kayam dikenal sebagai pemeran Bung Karno dalam Film Pengkhianatan G-30S/PKI yang di masa pemerintah Soeharto wajib tonton. Di mata Fachry Ali, Umar Kayam memiliki sikap jenaka dalam catatan berikut:
Mungkin itu pada semester 2 kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Ciputat pada akhir 1974 ketika saya benar-benar dihadapkan dengan dilema ‘berat’. Tugas bersamaan datang: dosen sastra Inggris Hadjid Harnawidagda minta segera membaca ‘The Adventures of Tom Sawyer’ karya Mark Twain; dosen sosiologi Prof Widagdo mengharuskan baca ‘Gemenschaft und Gesellschatf’ karya Ferdinan Tonnies.
Sementara, buku ‘The Age of the Economists’ karya Daniel Fusfeld baru terbaca sampai pada pemikiran ekonom Inggris terkenal John Maynard Keynes. Kecuali yang terakhir yang merupakan bacaan ‘sukarela’ (termasuk ‘Profiles of Courage’-nya Kennedy) segera saya lupakan sementara untuk melahap ‘Seribu Kunang-kunang di Manhattan’ dan ‘Sri Sumarah’ karya Umar Kayam.
Sementara ‘Seribu Kunang-Kunang di Manhattan’ memperlihatkan visi kosmopolitan Kayam, ‘Sri Sumarah’ menceritakan tragedi manusia Jawa dlm peristiwa G30S.
Sejak akhir 1974 itu, Kayam jadi idola saya. Dan salah satu tulisannya tentang ‘kebudayaan yang dipaketkan’ mengilhami saya, pada 1975 atau 1976, menulis tentang ‘agama yang dipaket-paketkan’ di Harian Merdeka pimpinan BM Diah.
Akhirnya, pada suatu hari, saya sempat menjadi moderator Umar Kayam untuk diskusi gejala retradisionalisasi politik. Dengan menggunakan frasa ‘beamtenstat’ yang diperkenalkan kembali oleh Ruth McVey dari Harry Benda, saya beri kesimpulan pendek ulasan Kayam itu.
Mungkin, untuk menyenangkan saya, Kayam berkata: ‘You kok bisa menjelaskan pikiran saya secara lebih jelas.’
Selanjutnya, saya bertemu Umar Kayam dalam seminar ‘Indonesian Culture: Asking the Right Questions’ di Flinders University, Adelaide Australia, pada 1992.
Pada waktu istirahat ia bercerita kegalauannya menyanggupi menjadi pembicara di sebuah forum di Yogya hanya karena dikira patner bicaranya Goenawan Mohamad.
Kayam tidak cermat membaca undangan bahwa patnernya adalah Gunawan Muhammad. (‘Gu’ bukan ‘Goe’). Dan selama seminar di Adelaide itu Kayam ‘hidup’ tidak tenang. Pasalnya, setiap apa yang dimakan diawasi penuh oleh seorang peserta perempuan yang juga berasal dari Yogya.
"Wah, saya dimata-matai terus oleh intel yang dikirim isteri," desahnya.
Umar Kayam memang harus berpantang terhadap makanan tertentu.
Di Monash University, Melbourne, tempat saya kuliah, Umar Kayam juga hadir untuk sebuah seminar lain. Kali ini ia ditampung di rumah seorang ekonom, dosen di Monash. Saya sebenarnya tidak keberatan Umar Kayam tinggal di rumah. Tetapi, Romo Mangunwijaya sudah lebih dulu terdaftar tinggal di rumah saya.
‘Kan lebih enak tinggal di situ. Rumahnya besar dan bukan flat seperti saya?!’, ujarku kepada Umar Kayam.
‘Wah, sengsara,’ kata Kayam.
‘Mengapa?’ Kayam tahu bahwa tuan rumah asal Amerika itu telah memeluk Islam.
Tetapi, kira-kira, masak seserius itu. Maka, secara tak sadar Kayam benar-benar memberi respons apa adanya kepada tuan rumah.
Pasalnya, begitu sampai, sang tuan rumah bertanya kepada Kayam: ‘Mau minum apa?’
Umar Kayam menjawab: ‘Bir’
Dengan tegas tuan rumah menjawab: ‘Di sini tidak ada bir!’
Umar Kayam kaget dan secara spontan berkata: ‘Oh, Anda Islam beneran?!’
Advertisement