Ulil Abshar: Muslim yang Baik Berdampak pada Kebahagiaan Umat
Intelektual Muslim, KH Ulil Abshar Abdalla menyampaikan konsep tentang kebahagiaan sebuah masyarakat. Ia berpendapat, kebahagian dapat diraih jika komunitas Muslim mampu menjalankan tiga dasar dalam kehidupannya.
“Muslim yang baik, yang nanti kalau muslim yang baik ini dapat diperbanyak jumlahnya itu akan membuat masyarakat menjadi bahagia,” kata Ulil yang menantu KH A MUstofa Bisri.
Pertama, Muslim yang mempunyai ilmu agama yang mendalam dan berkomitmen terhadap aturan-aturan agama. “Orang muslim yang baik adalah orang Muslim yang menjalankan perintah agama, menjauhi larangan-larangan agama, dan memahami, menghayati perintah-perintah agama secara baik. Itu dasar pertama,” ucapnya.
“Muslim yang baik dalam ideal saya, adalah manusia muslim yang bisa hidup di dalam sistem sosial apa pun selama sistem itu tidak melanggar agama: Dia bisa hidup di alam demokrasi, dia bisa hdup di alam kerajaan, ...."
Kedua, Muslim yang baik adalah muslim yang bisa menerima keberadaan pihak lain tanpa melihat identitasnya, baik agama, madzhab, atau komunitasnya. Sebab, dalam pandangannya, akhir-akhir terdapat gejala sebagian Muslim yang tidak menerima keberadaan pihak lian.
“Itu adalah ciri khas dari inklusi (terbuka). Inklusi adalah cara berpikir menerima orang lain sebagai makhluk Allah,” tuturnya.
Apalagi, sambungnya, Allah sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Rahmat-Nya mencakup segala sesuatu, sehingga tidak sepantasnya manusia membatasi rahmat yang luas tersebut hanya terhadap kelompok sendiri.
“Rahmat Gusti Allah itu inklusif sekali. The most inclusif rahmat adalah rahmat-Nya Allah. Kenapa kita sebagai manusia tidak membuat rahmat kita inklusif? Jadi bagi saya, muslim yang baik adalah muslim yang taat pada ajaran agama dan kalau melihat orang yang berbeda itu menerima mereka,” jelasnya.
Ketiga, Muslim yang baik adalah muslim yang mengikuti aturan yang ada, baik aturan adat, negara atau komunitas apa pun selama aturan tersebut tidak melanggar aturan agama.
“Muslim yang baik dalam ideal saya, adalah manusia muslim yang bisa hidup di dalam sistem sosial apa pun selama sistem itu tidak melanggar agama: Dia bisa hidup di alam demokrasi, dia bisa hdup di alam kerajaan, dia bisa hidup seperti di negeri Indonesia, bisa hidup di negeri seperti negeri barat, di mana pun. Dia tidak akan melawan sistem yang berlaku di negara itu selama sistem itu tidak melanggar agama,” kata Gus Ulil, panggilan akrabnya sekarang.
Ia mengungkapkan hal itu, saat menjadi pembicara pada Halaqah Nasional bertajuk “Merumuskan Fiqih Kebahagiaan Menuju Indonesia Inklusif” di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar, Jawa Barat, belum lama ini.(adi)
Advertisement