Ulil Abshar Abdalla: Ini Sikap Saya Soal Cadar
“Tak semua perkara harus dijawab dengan eksplisit”. Demikian Ulil Abshar Abdalla, pengambu Ngaji Bareng Kitab Ihya Ulumuddin.
Ia mengungkapkan hal itu, terkait pembicaraan umum soal perempuan memakai cadar. Dalam hal ini, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, secara tegas memberlakukan peraturan kepada para mahasiswa dan sivitas akademika di lingkungan, atas larangan bercadar.
Berikut catatan Ulil Abshar Abdalla, dikutip ngopibareng.id, dari akun facebook miliknya:
Bagi seorang beragama, ajaran yang bersumber dari Kitab Suci akan dia pandang bukan sekedar sebagai ajaran biasa, atau sekedar aturan "duniawi" seperti sebuah "wet" atau undang-undang.
Bagi dia, ajaran agama bersifat suci, dan ajaran inilah yang menghubungkannya dengan sumber segala yang ada ini, yaitu Tuhan. Umat Islam menyebutnya "hablun mina-l-Lah". Umat Yahudi menyebutnya "covenant"/perjanjian suci (yang kemudian diartikulasikan kembali dalam Quran dengan istilah "mitsaq").
Itu kaidah dasarnya.
Tetapi dalam praktik di lapangan, apa yang disebut ajaran agama yang dianggap suci dan mutlak itu tidaklah sederhana penerapannya. Penerapan ajadan agama harus memperhitungkan konteks. Jika seorang umat beragama berpikir bahwa dengan alasan kesucian ajaran agamanya itu dia mau menerapkan ajaran itu "at all cost", dengan harga apapun, maka yang sering terjadi adalah tubrukan antara "yang suci" dan "yang duniawi".
Yang menarik, para ulama fiqh atau ahli hukum Islam sejak dulu selalu berpikir dalam kerangka yang tidak hitam-putih. Tentu saja ada mazhab fiqih yang "keras". Tetapi umumnya mazhab fiqh dalam Islam, terutama empat mazhab dalam Sunni, plus fiqh mazhab Ja'fari dalam Syiah, mempunya ciri khas yang menonjol, yaitu "legal realism" - - maksudnya cukup bijak dalam melihat kenyataan, tidak hitam-putih.
Tuduhan "the so-called" kaum "modernis" pada dekade 70an bahwa fiqh Islam bersifat formalistik dan kaku, sebetulnya tidak seluruhnya benar. Memang ada kekakuan dalam tradisi fiqh Islam. Tetapi ini bukan "the whole picture". Fiqh Islam itu adalah spektrum - - sebuah bentangan yang luas. Di dalamnya terdapat kekayaan pendapat yang bisa diolah lebih lanjut dalam konteks modern.
Ulama fiqh di Indonesia juga mewarisi tradisi hukum Islam yang "realistik" ini. Coba lihat kasus-kasus ini. Semua ulama fiqh di Indonesia, terutama para kiai-kiai NU, tentu membaca kitab-kitab fiqh yang standar dan biasa diajarkan di pesantren, seperti Taqrib, Tahrir, Fathul Mu'in, Fathul Wahhab, dll.
Dalam setiap kitab fiqh itu selalu akan kita jumpai bab tentang jihad. Menurut ketentuan tekstual dalam fiqh-fiqh itu, jihad hukumnya adalah fardlu kifayah - - kewajiban kolektif yang harus dipikul oleh umat Islam. Pertanyaannya: Kenapa tak ada ulama pesantren berbasis fiqh yang mengampanyekan jihad (kecuali jika sangat terpaksa dalam konteks "pertahanan diri" di era penjajahan dulu, seperti Revolusi Jihad-nya Mbah Hasyim)? Kenapa gerakan jihad di era modern justru semuanya digagas dan digerakkan oleh tokoh-tokoh yang tak ada kaitannya dengan tradisi fiqh?
Jawabannya, saya duga, adalah karena watak fiqh Islam yang sangat realistik. Cara pandang yang realistik yang menjadi ciri fiqh inilah yang membuat para ulama di kawasan Nusantara tak ada yang menggagas gerakan jihad, atau mendirikan negara Islam, negara khilafah, memaksakan penerapan syariat lewat otoritas negara.
Para ulama dan kiai paham benar bahwa penerapan ajaran agama yang suci itu tak bisa "sembrono" dan "pokokè". Realitas sosial tak bisa diabaikan. Sejak zaman klasik, para ulama fiqh punya kapasitas yang luar biasa untuk berdamai dengan realitas, tidak memaksakan ajaran agama secara sepihak. Termasuk berdamai dengan realitas negara bangsa seperti NKRI.
Para "ulama modern" yang tidak mau berdamai biasanya adalah mereka yang sudah dipengaruhi oleh "ideologi politik" yang dikembangkan oleh gerakan-gerakan Islam modern seperti Ikhwanul Muslimin. Kalau kiai atau ulama yang belum terpengaruh oleh ideologi politik Ikhwan atau yang semacamnya, biasanya akan memiliki "mindset" yang khas pada para fuqaha secara umum: yaitu bersikap realistik dan toleran terhadap kenyataan sejarah yang tidak seluruhnya selaras dengan pakem keagamaan.
Di balik sikap realistik ini ada sesuatu yang lain yang jauh lebih penting, yaitu "kebijaksanaan" atau hikmah. Saya menyebutnya "spiritualitas" dalam memahami dan menerapkan ajaran agama. Tanpa hikmah ini, agama Islam bisa merosot menjadi segepok aturan hukum yang menakutkan dan keji, seperti pernah diperagakan ISIS belakangan ini.
Untungnya, kita tumbuh dan berkembang di sebuah negeri di mana para kiai dan ulamanya, secara umum, adalah kiai fiqh (yang dikombinasikan dengan tradisi tasawwuf), bukan kiai "ideologi politik".
Apakah tulisan ini sudah mewakili sikap saya terhadap kontroversi soal cadar? Kalau Anda masih belum menemukan jawabannya, berarti Anda butuh membaca tulisan ini sekali lagi dan lagi dan lagi.
Demikian catatan dan tanggapan Ulil Abshar Abdalla atas masalah cadar yang belakangan ini jadi pembicaan umat Islam. (adi)