Ular-Ular Kobra Di Seputar Istana Kepresidenan
Jakarta: Akhir pekan lalu, saya diundang makan siang oleh seorang pengusaha minyak dan kelapa sawit. Tempatnya di “Grand Indonesia”, mall termewah di Indonesia, sebelah “Plasa Indonesia”, Jakarta Pusat.
Dalam ukuran saya, dia termasuk salah satu orang kaya di Indonesia, walaupun tidak masuk dalam kelompok 150 Manusia Terkaya.
Sukses sebagai pengusaha tetapi dia seorang “low profile” yang “high profit”. Yang selalu menjauh dari publikasi. Punya banyak uang tapi hidupnya tidak bergaya orang kaya. Tidak ‘hedonis’, meminjam istilah yang sedang trending saat ini.
Misalnya. Ia dan isteri tinggal di apartemen “full serviced” walaupun punya rumah mewah di kawasan elit. Kedua anaknya bersekolah di lembaga pendidikan terpandang di salah satu kota yang biaya hidupnya termahal di dunia.
Punya lima buah mobil. Semuanya merek papan atas. Tapi untuk bertemu dengan mitra bisnis atau sahabat dekat, dia tidak segan-segan menggunakan “taxi on line”. Maklum sopir-sopir nakal di zaman sekarang, senang suka mempersulit majikan.
Soal gaya hidup yang tidak suka pamer ini, inilah yang antara lain membuatnya sebagai sosok yang menarik bagi saya.
Bukan sekali saja saya mau menulis pandangan-pandangannya. Termasuk riwayat hidupnya. Tapi dia selalu menolak. Dia memiliki pandangan yang komprehensif tentang bisnis, ekonomi, sosial dan politik.
Karena alasan “low profile” dan tidak suka publikasi itu pula, maka dalam tulisan ini, namanya tidak disebutkan. Termasuk ciri-ciri yang memungkinkan pembaca bisa menebak dengan benar – siapa sesungguhnya sahabatku ini.
Dia tahu bahwa pertemuan saya dengannya, bisa melahirkan sebuah cerita atau berita. Untuk itu sejak awal, sebelum bertemu, dia mewanti-wanti tidak mengungkap nama dan jati dirinya.
Saat bertemu, saya sempat memotretnya dengan kamera hand phone. Dia tidak keberatan dipotret. Namun permintaannya tetap ; tidak ingin fotonya digunakan sebagai bahan publikasi atau diposting di media sosial : faceboook dan Instagram ataupun twitter. Saya hormati sikapnya.
Yang membuat saya tertarik mempublikasikan percakapan kami, karena posisinya. Dia tidak sekedar seorang pengusaha sukses. Ia ingin agar Presiden Jokowi sukses memimpin dalam lima tahun pertama dan sukses terpilih untuk kedua kalinya. Sejak dua tahun belakangan ini, dia menjadi seorang ‘mata dan telinga’-nya Presiden Joko Widodo.
Dan Presiden Joko Widodo menaruh rasa percaya kepadanya, juga antara lain karena sifat “low profile”-nya tersebut.
Presiden ke-7 Republik Indonesia ini, di sisa waktu sekitar dua tahun masa jabatan terakhir, kelihatannya tengah memerlukan orang yang tidak dikenal publik sebagai sahabat berdiskusi. Dan orang tersebut, haruslah seseorang yang secara finansial sudah mapan. Sehingga tidak berniat minta-minta proyek, apalagi mencatut nama Presiden.
Dalam posisi seperti itu, dia melakukan banyak lobi. Saya masuk dalam agenda kegiatan lobinya.
Apa yang dia dengar dari luar, dan bila itu dianggapnya penting, bisa disampaikannya langsung kepada Presiden. Dia bisa berbicara hanya empat mata dengan Pak Dhe Jokowi. Setidaknya, itulah pengakuan sahabatku ini.
Dia bukan pengusaha keturunan Tionghoa walaupun kalau dilihat dari wajahnya yang menggunakan kacamata bening, mirip-mirip sahabat-sahabatku dari “China Town” Glodok ataupun Kelapa Gading, Jakarta.
Sejauh pantauan saya, dia sudah menjadi orang kaya, sebelum Jokowi terpilih sebagai Presiden.
Dia bukan satu suku, satu agama dengan saya. Dan di mata saya dia seorang muslim toleran.
Nah, alasan dia mengundang, karena ingin membahas apa yang saya tulis di “Catatan Tengah” yang judulnya “Kabinet Presiden Jokowi Sangat Kompak”.
Tulisan ini menjadi viral di beberapa media “on line” dan katanya termasuk yang dibaca oleh kalangan Istana. Wah hebat benar tulisan itu, kata saya membatin dan semoga benar adanya.
Dia tidak mengonsumsi alkohol. Namun dia mengajak saya ke restoran yang menyediakan bir. Dia tahu saya suka draf bir dingin. Bir yang tidak dituang dari botol tapi dari drumnya.
Dia mengajak saya minum bir, semata-mata karena dia ingin “meng-entertain”. Sudah lebih dari setahun kami tidak pernah bertemu. Lagi pula bir yang disajikan di restoran itu, sedang dalam promosi.
Di resto “Paulaner”, yang terletak di lanta dua East Wing, Mall Grand Indonesia, dengan membayar Rp. 300-an ribu plus-plus, per orang, setiap tamu bisa minum bir sepuas-puasnya.
Jadi asumsinya, jatah bir untuknya akan saya minum semuanya. Enaaaaak tenan, pikir saya berhalusinasi.
Tapi berhubung restorannya penuh tamu, kami terpaksa pindah. Semua restoran yang kami datangi, di jam makan siang itu, penuh. Setelah cukup lelah berkeliling, kami akhirnya terdampar di sebuah restoran China. Restoran yang terkenal dengan menu bebek panggangnya.
“Ini resto halal. Hanya ada soft drink dan chinese tea”, ujar pelayan setelah sahabatku ini memesan bir untukku.
Topik pun beralih ke apa yang saya tulis pekan lalu di “Catatan Tengah”.
“Yang anda tulis itu, sebagian besar ada benarnya….….Lalu apa anda punya saran tentang posisi-posisi Menteri yang banyak disorot masyarakat”, dia bertanya dan pertanyaannya itu tidak mudah saya jawab.
Saya mengkonfirmasi nama-nama Menteri yang dia maksud termasuk pejabat tinggi yan setingkat dengan Menteri dan dikenal sebagai politisi dari sebuah partai pendukung kabinet Jokowi-JK.
Sebelum pertanyaannya dijawab, saya mengkonfirmasi apakah Presiden atau dia sendiri punya kesan bahwa pejabat itu digadang-gadang sebagai pembela kepentingan bossnya?
Ditanyai dengan pertanyaan politik seperti di atas, saya merasa seperti diuji integritas, obyektifitas dan kejujuran saya sebagai wartawan senior!
Jawaban apa adanya pun saya lontarkan. Hanya saja karena alasan kepatutan dan etika, jawaban-jawaban saya atas pertanyaannya, tidak saya tulis di sini.
Dia pun mendorong saya untuk menulis apa yang saya yakini sebagai pendapat yang perlu diketahui oleh siapapun – khususnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah bangsa.
“Bapak Presiden ini kan mendengar semua masukan yang dia anggap penting”, ujarnya.
Ketika saya menyanggah, dengan mengatakan, tidak semuanya patut disampaikan secara terbuka, sahabatku ini mengaku paham.
Saran saya, intinya Presiden harus menggeser Menteri atau Pejabat setingkat Menteri yang menimbulkan beban bagi pemerintahan Jokowi.
Saya katakan jika perombakan kabinet dilaksanakan di saat masa jabatan Presiden secara efektif tinggal sekitar 16 bulan (Nopember 2017 – Maret 2019), tetap berpotensi memunculkan resiko.
Namun saya ingatkan BJ Habibie yang menjadi Presiden hanya selama 16 bulan (Juni 1998 – Oktober 1999), juga berhasil mencetak prestasi. Menaikan nilai tukar rupiah. Dari tadinya Rp. 16,- ribuan turun ke Rp. 6 ribuan terhadap dolar Amerika.
Prestasi Habibie itu, hingga sekarang tak pernah dicapai ulang oleh Gus Dur, Megawati, maupun SBY.
Habibie juga mereformasi kehidupan berdemokrasi. Dengan membebaskan pers dari keharusan memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Habibie membuat sipil sebagai pihak yang patut memerintah negara ini. Habibie memerintah tanpa Wakil Presiden.
Sebaliknya SBY yang berkuasa selama 10 tahun, agak sulit mendeteksi apa yang paling signifikan yang dilakukannya bagi kepentingan bangsa.
Rakyat kata saya hanya ingin satu : sangat senang jika perubahan di dalam tim kepresidenan menjadikan keadaan Indonesia lebih baik. Tap peduli, siapapun Presiden-nya.
Bagaikan seorang ahli, saya juga mengulas resiko perombakan kabinet yang ketiga kalinya. Antara lain mereka yang tersisih atau terpinggirkan dari lingkar kekuasaan, saya perkirakan pasti akan melakukan berbagai perlawanan. Sebuah perlawanan yang sifatnya manusiawi.
Mereka yang tadinya kawan bisa berubah menjadi lawan Presiden.
Ulasan mana belum tentu benar.
Namun saya tegaskan, tidak ada satu keputusan yang tak ada resikonya. Persoalannya, mampu, berani dan maukah Presiden menghadapi resiko ? Ini semua terpulang kepada Presiden.
“Di sini sebetulnya momen paling tepat bagi Presiden untuk melihat siapa sebetulnya yang negarawan. Apakah mereka yang dia percaya selama ini sebagai pejabat publik atau tokoh nasional, punya karakter negarawan atau kadar kenegarawanan mereka setipis sebuah selaput”, saya menambahkan.
Kalau ada Menteri yang dikeluarkan dari Kabinet kemudian menjadi oposan apalagi dendam kepada Presiden, itu namanya “manusia karbitan” dan oportunis.
“Atau apakah Presiden sendiri punya keberanian dan watak seorang negarawan ?” saya balik bertanya.
Dalam perspektif saya pribadi, situasi yang ada di lingkar kekuasaan Jokowi, bisa diparodikan dengan keadaan sebagai berikut.
Di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, tempat Jokowi berkantor, terdapat beberapa gedung atau bangunan penting. Dua diantaranya disebut Istana Merdeka dan Istana Negara.
Sebuah gedung, namanya Wisma Negara, tidak banyak diceritakan. Gedung yang terletak di bagian barat Istana, biasanya digunakan tempat menginap para tamu negara. Namun sejak Soeharto lengser, hampir tidak pernah ada tamu negara yang berkunjung lalu menginap di sana.
Entah karena jarang digunakan, di gedung yang terpisah dari kantor kepresidenan, sekarang berkeliaran beberapa “ular kobra”. Ular berbisa.
Tidak ada yang tahu persis berapa jumlah hewan berbisa itu di sana. Serta siapa yang memasukkan satwa liar itu ke komplek Istana. Namun semua orang Istana sudah tahu keberadaan “satwa-satwa berbahaya” itu. Termasuk pasukan penjaga keamananan Presiden sendiri.
“Ular-ular kobra” itu sejatinya, tidak mencari mangsa atau tengah bersiap-siap menyebarkan racun mematikan. Mereka menikmati keberadaan mereka, sepanjang mereka tidak diganggu. Mereka hanya berreaksi, bergerak manakala ada orang sekitar, termasuk Pak Presiden memperlihatkan sikap mengganggu.
Pak Presiden sejauh ini tidak berbuat apa-apa. Boleh jadi karena Pak Presiden belum pernah dipatok oleh seokor “ular kobra”.
Bisa jadi juga, karena Pak Presiden sangat percaya diri. Dia sendiri seorang “pawang” ular. Dia tahu bagaimana menjinakkan “satwa liar” mematikan itu.
Sahabatku ini tertawa kecil, sambil menikmati kuliner Cina. Entah karena parodi saya tentang sikap diam Presiden, menyentuh kepeduliannya dan saraf intelektualnya.
Atau dia juga paham, “ular kobra”, ini hanya jadi-jadian. Namun tetap saja bisa “membunuh” siapa saja. Tidak pandang jabatan atau status seseorang. Presiden pun bisa terbunuh oleh racun “ular kobra”.*
*) Derek Manangka adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta