Ulama Wajib Rendah Hati, Ini Pesan Suci Menarik Simpati
Oleh: Ahmad Ishomuddin
Akhlak atau budi pekerti yang wajib, layak dan seharusnya dimiliki kaum intelektual, cerdik cendekia, alim ulama, para santri atau kaum terpelajar adalah tawadlu' (rendah hati) dan menjauhi arogansi, keangkuhan, besar kepala, kesombongan atau kekagumaman pada diri sendiri. Karena sifat rendah hati itu lebih menarik simpati, sedangkan sifat sombong itu tidak disukai dan membuat orang lain menjauhi.
Bagi setiap orang kesombongan itu buruk, sedang bila sifat itu melekat pada ulama atau kaum cerdik pandai maka itu lebih buruk lagi. Mengapa demikian? Karena manusia mengikuti dan meneladani ulama panutannya.
Bila idola panutannya itu suka memaksakan kehendak, merasa benar dan pintar sendiri, bicara kasar, suka mencaci maki, mencela, melaknat, menjelek-jelekkan lawannya di muka umum. Bahkan hingga berani terang-terangan memfitnah maka itu semua merupakan ciri kesombongan yang melekat pada hatinya, yang sangat boleh jadi ditiru secara membuta oleh para pengikut fanatiknya.
Sangatlah sulit membuka pikiran mereka yang terkunci dan tertutup rapat sehingga tidak bisa dimasuki secercah cahaya kebenaran, sedang mulut-mulut mereka terus menganga meneriakkan slogan-slogan kebencian kepada siapa saja karena mengikuti jejak sesat sang junjungannya yang terperangkap lama dalam jeruji penjara keangkuhan dan arogansi intelektual. Sambil terus menghembuskan puja puji yang melambung setinggi langit kepada sang junjungannya itu. Kesombongan pemimpin itu menular cepat kepada para pengikutnya.
Mengapa keangkuhan dan kesombongan itu cepat memasuki hati kaum cerdik cendekia, sebagian ulama atau para penuntut ilmu? Karena mereka merasa telah memonopoli keutamaan ilmu. Andai saja mereka mau merenungi diri dengan perenungan yang mendalam, niscaya mereka bisa segera menyadari akan konsekwensi menjadi orang berilmu, niscaya tawadlu' (rendah hati) itu lebih utama ada pada diri mereka, dan lebih patut bagi mereka untuk menghindar dari merasa kagum kepada pendapatnya sendiri dan dari keangkuhan.
Lebih-lebih mengetahui dengan penuh kesadaran diri bahwa kesombongan itu merupakan sifat "kekurangan" yang menafikan keutamaan. Kesombongan itu sifat buruk yang memakan pahala kebajikan secepat api membakar kayu bakar yang kering.
Sayyiduna Umar bin al-Khaththab r.a. pernah berwasiat, "Pelajarilah ilmu, dan karena ilmu itu belajarlah akan ketenangan dan kesantunan, berendah hatilah kepada orang yang kalian belajar kepadanya (guru), dan hendaklah kalian (juga) berendah hati kepada orang yang kalian mendidiknya (para murid). Janganlah kalian termasuk ulama yang menyombongkan diri. Ilmu kalian tidak akan tegak (yakni tidak bermanfaat) disebabkan oleh kejahilan (yakni kesombongan) kamu."
Sungguh, karena keterbatasannya dari segala sisi satu orang manusia tidak akan mampu menguasai seluruh bidang ilmu di dunia ini. Andaikata ada seseorang yang mengetahui satu bidang ilmu saja dapat dipastikan bahwa dalam satu ilmu itu ada yang lebih tahu dari pada dirinya. Sehingga seorang bijak pernah ditanya, "Siapakah yang mengetahui setiap ilmu?" Maka ia menjawab, "Setiap orang." Maknanya, bahwa satu orang mustahil mengetahui semua ilmu.
Benarlah kata al-Imam al-Sya'biy ('Amir bin Syarahil al-Kufiy, wafat tahun 104 H. dalam usia 82 tahun), ia penjabat hakim di Kufah, "Ilmu itu tiga jengkal. Siapa yang memperoleh sejengal darinya maka ia baru mengangkat hidungnya (mencium baunya saja) dan ia menyangka telah memperolehnya. Dan siapa saja yang memperoleh dua jengkal maka karena ilmu itu (ia memandang) kecil dirinya sedangkan ia tahu bahwa ia belum memperoleh ilmu itu. Adapun jengkal yang ketiga, maka alangkah jauhnya (mustahil), tidak seorangpun mampu meraihnya untuk selama-lamanya."
Pernyataan al-Imam al-Sya'bi di atas menjelaskan kepada kita bahwa keangkuhan, merasa hebat, arogansi dan suka meremehkan orang lain serta tak mampu menaruh hormat kepada sesama itu seringkali berasal dari orang yang serba tanggung dalam perolehan ilmu, yakni mereka yang baru belajar dan lalu memperoleh ilmu hanya sejengkal namun sudah merasa menguasai keseluruhannya. Orang yang sangat terbatas ilmunya ini selalu dikendalikan oleh hawa nafsunya dalam bertindak dan berbicara, sehingga yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata dusta, kekeliruan, sumpah serapah, hingga sampah-sampah najis yang tidak layak didengarkan oleh siapa saja yang berakal sehat dan tidak pantas didengarkan oleh setiap manusia yang ingin menjaga kewarasan hati nuraninya.
Pernyataan al-Imam al-Sya'bi di atas juga menjelaskan bahwa semakin seseorang mendalam ilmunya maka ia semakin bijaksana dan menyadari akan keterbatasan dirinya dalam meraih ilmu, bahwa ia tidak mungkin meraih keseluruhannya. Sehingga ia menjadi orang yang selalu rendah hati dan semakin menyadari ketidakmungkinan memperoleh keseluruhan ilmu yang dicarinya.
Orang berilmu yang sesungguhnya adalah yang menyadari keterbatasannya, mengetahui kadar dirinya, selalu rendah hati, bijaksana dan tidak ada sedikitpun keangkuhan bersemayam dalam jiwanya.
*) Rais Syuriah PBNU periode 2015-2020, tinggal di Jakarta.
Advertisement