Ulama Pendukung Kalender Islam Global, Ini Langkah Muhammadiyah
Terjadinya perbedaan pendapat soal waktu, menyebabkan umat Islam selalu berbeda dalam melaksanakan ibadah hari raya, khususnya Idul Fitri dan Idul Adha.
Pada ulama ahli hisab menyadari pentingnya kehadiran Kalender Islam Global.
Menyikapi hal itu, Persyarikatan Muhammadiyah akan memaksimalkan pemahaman lingkungan persyarikatan Islam itu terlebih dahulu sebelum masyarakat Muslim pada umumnya.
Meski Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah menerbitkan Kalender Islam Global lengkap 12 bulan penuh sebagai langkah sosialisasi.
"Namun untuk kepentingan-kepentingan Persyarikatan, saat ini masih menggunakan kalender hijriah wujudul hilal," demikian dilansir situs resmi muhammadiyah.or.id, dikutip Rabu 15 Juni 2022.
Muasal Penanggalan Hijriyah
Awal mula penanggalan Hijriyah ditetapkan yakni pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, 17 tahun setelah hijrahnya Rasulullah SAW. Akan tetapi, setelah 14 abad lamanya, umat Islam belum mampu membuat Kalender Islam Global (KIG) yang akurat dan memenuhi ketentuan syar’i.
Kebutuhan akan terwujudnya Kalender Islam Global semakin mendesak pada saat wukuf di Arafah. Mengapa? Karena umat Islam yang berada di luar kota Makkah disunahkan menjalankan puasa Arafah. Menurut Susiknan Azhari, pakar Falak Muhammadiyah, dalam menghadapi permasalahan ini jumhur ulama kontemporer mengembangkan konsep Ittihad al-Mathali (kesatuan matlak).
Pada tahun 1970, Husein Fathi disebut-sebut sebagai tokoh awal yang menggagas Kalender Islam Global dengan terbitnya kitab berjudul Kaifa Nuwahhid at-Taqwim al-Hijry fi al-‘Alam al-Islamy. Secara umum isinya Fathi berpandangan bahwa kota Mekah (Ka'bah) mesti dijadikan sebagai marjak. Artinya, tatkala hilal teramati setelah matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Kamariah di salah satu kota Mekah atau Madinah, maka hal tersebut berlaku juga untuk seluruh kawasan di bumi. Jika pada hari itu tertutupi awan, maka bulan baru terjadi pada keesokan harinya sehingga digenapkan menjadi 30 hari.
Namun, gagasan kalender Islam global yang lebih canggih lagi pertama kali muncul di Asia Tenggara, yang diinisiasi oleh Mohamad Ilyas dari Malaysia. Sejak tahun 1984, Ia banyak sekali menelurkan karya-karya yang berkaitan dengan kalender dan arah kiblat.
Salah satu gagasannya yang terkenal ialah: dalam upaya membangun sebuah sistem kalender Islam internasional, ia menawarkan konsep International Lunar Date Line (ILDL) atau garis batas tanggal kamariyah antar bangsa. Namun, sebagai penggagas pertama di era modern, para peneliti menilai kalender konsepsi Ilyas belum menemukan bentuknya yang unifikatif.
Kitab Itsbat asy-Syuhur al-Hilaliyyah
Pada tahun 1997, terbit sebuah kitab berjudul Itsbat asy-Syuhur al-Hilaliyyah wa Musykilah at-Tauqit al-Islamy karya Nidlal Qassum, Muhammad al-‘Atby, dan Karim Mizyan.
Menurut Mohammad Syaukat ‘Audah dalam kitab Tathbiqat al-Hisabat al-Falakiyyah fi al-Masail al-Islamiyyah yang terbit tahun 2007 menilai bahwa kitab yang ditulis oleh ketiga ulama ini merupakan karya ilmiah pertama dalam bahasa Arab di zaman modern yang membahas masalah mengenai kalender kalender hijriyah internasional secara kritis dan rinci.
Literatur lainnya yang membahas pentingnya kesatuan kalender ini ditulis oleh Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq dengan judul At-Taqwim al-Qamary al-Islamy al-Muwahhad.
Kitab yang ditulis pada tahun 2004 ini kemudian diterjemahkan oleh Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar dengan judul "Kalender Kamariah Islam Unifikatif Satu Hari Satu Tanggal di Seluruh Dunia".
Menurut ‘Abd-Raziq, ada Ada tiga prinsip dasar yang harus diterima secara normatif untuk membuat sebuah kalender kamariah: hisab sebagai dasar (i’timad al-hisab), transfer visibilatas hilal (naql imkanurrukyah), dan dijadikannya waktu tengah malam di garis tanggal internasional sebagai awal waktu dan tempat permulaan hari.
Karya Ulama Indonesia
Sementara itu, di Indonesia salah satu buah karya paling awal yang membahas ihwal Kalender Islam Global adalah buku dengan judul Awal dan Akhir Ramadhan: Mengapa harus Berbeda? karya Hasbi ash-Shiddieqy.
Dalam buku yang terbit pada tahun 2002 ini, Hasbi Ash-Shiddieqy setidaknya merumuskan tiga hal terkait Kalender Islam Global:
Pertama, dunia berada dalam satu matlak;
Kedua, keberlakuan rukyat bersifat global;
Ketiga, titik acuan adalah kota Makkah.
Meskipun deretan ulama yang disebutkan di atas secara detail konsep dan kriteria berbeda satu sama lain, namun mereka memiliki visi yang sama bahwa Kalender Islam Global merupakan utang peradaban yang harus dilunasi.
Pelunasan utang peradaban ini akan berdampak positif dalam beberapa hal, salah satunya pada hari Arafah. Inilah yang kemudian menjadi salah satu amanat Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015 bahwa persyarikatan akan memperjuangkan terwujudnya Kalender Islam Global.