Ulama Ashabul Maulid, Catatan Kritis atas Kasus Gus Muwafiq (3)
Muhammad Al-Fayyadl, intelektual Muslim berlatar belakang pesantren, menulis tentang kasus Gus Muwafiq dalam ceramahnya soal Nabi Muhammad. Berjudul "Menakwil Mas Muwafiq".
"Ini sekadar butir-butir ringkasan dari pengamatan alfaqir secara pribadi dan tanggapan atas merebaknya kontroversi ceramah Maulid Nabi oleh Mas Ahmad Muwafiq (MAM)," tutur Muhammad Al-Fayyadl, dalam catatan pengantarnya.
Berikut bagian terakhir kritik Gus Muhammad Al-Fayyadl:
BAGIAN KEDUA
Berbagai penafsiran dan tanggapan di atas barangkali mubazir, mengingat kontroversi ini telah melampaui ranah dalil dan diskusi ilmiah, dipolitisasi sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang memiliki massa atau jamaah. Pada akhirnya, kita menyaksikan duel ironis dan lucu, yang lagi-lagi Su’ul Adab ditinjau dari akhlak kita kepada Rasulullah, antara gerakan “Kami bersama Gus Muwafiq” versus gerakan “Kami bersama Rasulullah”. Jelas tidak “apple-to-apple”. Lebay.
Problemnya merembet ke ormas. Di belakang MAM ada ormas NU, di belakang para pengkritiknya ada berbagai macam ormas, dari NU sampai FPI.
Berbicara politisasi kasus ini, bukan kali pertama di negeri ini. Lagi-lagi, soalnya statemen. Dari sejak Ahok hingga Sukmawati, berbagai upaya politisasi dilakukan. Siapa yang menangguk untung? Tidak ada. Semua dirugikan. Mungkin bukan kebetulan bahwa isu penistaan agama oleh MAM ini muncul berbarengan dengan rencana besar pemerintah menggolkan sejumlah Undang-undang pro-Investasi melalui Omnibus Law. Bukan tak mungkin, elite oligarki negeri ini sedang mengambil keuntungan dari terkurasnya energi umat untuk saling menjegal.
Menyederhanakan kelompok pengecam MAM sebagai “kadrun” atau “FPI”, jelas bias dan tidak komprehensif. Berbagai suara dari majelis shalawat, dari kalangan Habaib dan kiai yang tidak berpolitik praktis, menunjukkan bahwa reaksi atas MAM bukan semata-mata dari kelompok “Islam radikal”. Ia juga datang dari kalangan moderat NU sendiri, atau yang dekat pada kultur Nahdliyin.
Menyebut sesama Muslim sebagai “kadrun” (“kadal gurun”) juga sebentuk “sabb al-muslim” (mencaci sesama Muslim), yang sangat dilarang Rasulullah. Atas nama membela seorang tokoh dari tuduhan “sabb an-Nabi”, kita tega melakukan “sabb al-muslim”. Ini lingkaran setan ujaran kebencian yang sedang membelit umat Islam Indonesia, tak terkecuali kaum yang mengaku “moderat”.
Sekarang, bagaimana menghentikan agar ujaran kebencian ini tidak semakin memperkeruh umat? Berbagai ujaran -- beberapa muncul dari kalangan pesantren, seperti statemen Mbah Yai Muhammad Najieh Maimoen -- telah mengarah kepada persekusi dan wacana kekerasan (seruan membunuh atau memenjarakan). Ini di luar ekspektasi, dan bukan tak mungkin memicu tindakan-tindakan nekat.
Satu-satunya langkah yang mungkin, dan barangkali terbaik, adalah mengembalikan polemik ini kembali ke rel ilmiah, bukan pengkafiran, persekusi, atau adu-massa. Minta pertanggungjawaban ilmiah MAM secara publik. Minta juga tanggapan ilmiah para pengkritiknya. Biarkan jamaah menilai mana yang lebih bermutu. Bedah lagi historiografi Sirah Nabawiyah, diskusikan serta kontekstualkan dengan realitas Indonesia yang aktual dan Nusantara.
Atau, kalau itu dianggap terlalu berlebihan, tempatkan MAM bukan sebagai pakar sejarah, -- yang dituntut akurasinya -- melainkan sebagai “budayawan NU”. Itu tampaknya lebih pas, karena MAM lebih dikenal sebagai budayawan, orang yang mencoba memaknai pesan-pesan agama dengan media budaya.
Kali ini, ia mencoba menarasikan kisah Maulid dengan gaya khas tradisi lisan ala pendongeng dalam kisah-kisah “wayang”. Tujuannya, menampilkan versi yang “tidak resmi” tentang kisah-kisah para Nabi: versi “utak-atik ghatuk”, versi “lokal”. Versi yang berjarak dari apa yang ditemui di kitab-kitab kuning. Masalahnya, apakah strategi “naratologi” atas kisah Nabi seperti ini cocok dan pas untuk penonton Indonesia 2019 yang selalu disibukkan dengan sahut-ribut Lovers dan Haters? Untuk audiens milenial yang telanjur dijejali perang ujaran kebencian di dunia maya, dan di sisi lain, sedang dilanda gairah keagamaan yang luar biasa? Rasanya tidak cocok. Ia hanya cocok di alam Jawa setengah abad lalu, barangkali. Ketika ritme kehidupan lebih santai, orang menyimak lebih nikmat. Tidak dikejar apa-apa. Di pelosok desa-desa Jawa yang bersahutan suara pepohonan dan tembang. Itulah “alam” sebenarnya Mas Ahmad Muwafiq.
Menyikapi perbedaan pendapat, mari biasakan meng-HUJAH, bukan meng-HUJAT.
Umat Rasulullah dikenal oleh umat-umat terdahulu sebagai “al-hammaduun”, para pelantun pujian (tahmid). Jangan gegara kasus ini, kita lalu berubah dikenal menjadi “as-saabbuun”, para penghujat.[]
*) Dipetik dari akun facebook Muhammad Al-Fayadl, Sabtu 7 Desember 2019.
Advertisement