Ulama Ashabul Maulid, Catatan Kritis atas Kasus Gus Muwafiq (2)
Muhammad Al-Fayyadl, intelektual Muslim berlatar belakang pesantren, menulis tentang kasus Gus Muwafiq dalam ceramahnya soal Nabi Muhammad. Berjudul "Menakwil Mas Muwafiq".
"Ini sekadar butir-butir ringkasan dari pengamatan alfaqir secara pribadi dan tanggapan atas merebaknya kontroversi ceramah Maulid Nabi oleh Mas Ahmad Muwafiq (MAM)," tutur Muhammad Al-Fayyadl, dalam catatan pengantarnya.
Berikut kelanjutan dari pemikiran kritis Gus Muhammad Al-Fayyadl:
Apakah narasi-narasi ini mengada-ada, seperti terkesan dari penilaian MAM pada satu sesi pendek ceramahnya tersebut? Ini bisa jadi duel intelektual dan ruhani menarik antara MAM dan para pengarang kitab Maulid, sepeti Imam ad-Diba’ie atau al-Barzanji, yang pastinya bukan orang sembarangan dan memiliki “bashirah” (mata batin) dalam memaknai kelahiran Nabi (Rata-rata para pengarang Maulid adalah para ulama yang masyhur telah berkali-kali mengalami mimpi bertemu atau ditemui Rasulullah).
Tapi baiklah, kalau kita tidak mampu “menerawang” ke dalam sisi itu, kita ambil pemaknaan atas makna “cahaya” dan “melihat” dalam teks-teks itu.
Ini tema klasik dalam literatur kesufian, yang pasti tidak asing bagi MAM. Kali ini alfaqir sedikit meninjaunya dari sudut pandang linguistik (lughawi) dan falsafi.
Pertama, di sana terdapat dua versi “melihat”. Dalam hadits riwayat Ahmad, ibunda Nabi melihat cahaya itu dalam mimpi, sebagai kabar gembira atas kelahiran putranya. Sedangkan para ulama Ashabul Maulid memaknainya sebagai melihat dalam mimpi sekaligus dengan mata kepala. Di sini kita tiba pada ambiguitas dan kekayaan tafsir kata “melihat”.
Secara ringkas, epistemologi Islam mengenai penglihatan tidak positivistik-empiris. Penglihatan pertama-tama terkait dengan level keimanan dan pengetahuan. Ada ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin, dan Haqq al-Yaqin. Penglihatan yang hanya mengakui objeknya pada level empiris dengan mata kepala berada pada taraf ‘Ilm al-Yaqin. Penglihatan ini terbatas dan tidak mampu menangkap apa yang melampaui indera mata.
Prinsip utama epistemologi Islam adalah: semakin tinggi tingkat keimanan dan pengetahuan, semakin ia mengakui yang luput dari mata kepala namun dapat ditangkap oleh “indera” batin (bashirah, qalbu, dll.).
Secara ringkas, cahaya kelahiran Rasulullah mungkin saja tidak terlihat dengan indera mata pada level ‘Ilm al-Yaqin, namun bisa ditangkap pada dua level di atasnya (‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin). Sebagaimana sebagian mimpi orang shalih memiliki kebenaran nyata (haqq), mimpi ibunda Nabi juga benar.
Jika kita melihat di level mana mimpi ini berada, bisa dipastikan itu adalah Haqq al-Yaqin. Pada level ini, sebagian teori ulama mengatakan, ketika orang mencapai Haqq al-Yaqin, pemilahan antara objek yang bisa dilihat oleh mata kepala dan mata batin menjadi tidak berlaku. Ia bisa disaksikan sama validnya baik oleh mata kepala maupun mata batin. Ini berlaku pada banyak kasus para hamba pilihan Allah yang menyaksikan sesuatu atau kejadian dengan mata kepalanya, meski tak terlihat oleh mata orang lain.
Jika tidak mau berumit-rumit dengan alur pemaknaan ini, kita bisa mengambil “realisme” yang tampaknya menjadi pola pikir MAM. Misalnya dengan merujuk pada fakta adanya cahaya-cahaya fisik yang diberikan Allah sebagai mukjizat bagi para Nabi. Seperti cahaya putih pada tangan Nabi Musa a.s. Apabila Nabi Musa saja diberikan cahaya fisik seperti itu, bukankah Rasulullah lebih utama untuk memilikinya?
Motif untuk “memahamkan” generasi milenial tidak dapat menjadi alasan untuk menafikan kemungkinan memaknai cahaya itu secara fisik. Tentu MAM juga mengerti apa yang dimaksud dengan “Nur Muhammad”. Nur itu meliputi aspek lahir maupun batin. Kalau niatnya memahamkan generasi milenial (meski alfaqir meragukan alasan itu, mengingat audiens pengajian rata-rata orang tua di desa setempat), MAM bisa mengambil analogi cahaya itu dengan sinar Handphone.
Sinar Handphone atau Komputer itu nyata secara empiris, memiliki kadar radiasi. Jika benda mati seperti Handphone saja memiliki energi dan memancarkan radiasi tertentu, bagaimana dengan jisim Rasulullah yang hidup dan dianugerahi energi Cahaya Ilahi yang telah ada sejak sebelum penciptaan alam? Bukankah lebih masuk akal untuk juga bercahaya secara fisik?
Bagi anak muda seperti alfaqir, seawam-awamnya generasi milenial, ini lebih masuk akal. Kalau belum bisa dipahami juga, kita bisa belajar kepada para fisikawan untuk soal ini.
Cara penyajian MAM atas kelahiran Rasulullah, meski niatnya mungkin hendak menonjolkan sisi manusiawi Rasulullah, sebenarnya agak mirip dengan pola pikir kaum Wahabi yang secara epistemologis menganut paham realisme vulgar dalam memaknai peristiwa-peristiwa metafisik. Kaum Wahabi tidak segan akan menolak adanya hal-hal “supranatural” lantaran semata-mata berpijak pada apa yang empiris, menolak takwil, dan bahkan menolak tasawuf. Ini sekadar catatan kritis. Bukan berarti MAM adalah seorang Wahabi.
Dia, alfaqir yakin, adalah Nahdliyin tulen, bahkan juga dikenal aktivis hal-hal “supranatural” (ilmu kanuragan). Namun khusus mengenai poin ini, tampaknya ada kemiripan antara garis epistemologi kaum Wahabi dan tafsir MAM atas peristiwa pencahayaan pada momen kelahiran Rasulullah.
Bagi yang hendak memperdalam keimanan dan pemahaman atas dimensi-dimensi pencahayaan Rasulullah, sufi besar dari Andalusia, Imam Ibnu Sab’in (wafat 669 H), telah menulis karya yang sangat bagus tentang ini, “Anwar an-Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) Asraruha wa Anwa’uha” (Cahaya-cahaya Nabi: Rahasia dan Ragamnya). Di dalam karya tersebut, Ibnu Sab’in menyebutkan dua jenis cahaya Nabi yang relevan dalam kasus MAM, dan sayangnya disangkalnya, yaitu “nur al-maulid” (cahaya yang mengiringi kelahiran Nabi) dan “nur al-khilqah” (cahaya wujud fisik jasmani Rasulullah dari ujung rambut hingga ujung kaki).
Soal kedua, dalam banyak riwayat, memang masa kecil Nabi pernah ditimpa sakit mata ringan (ramad). Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Itu semata-mata bukti bahwa jasad seorang Nabi pun bisa sakit, namun sakit yang manusiawi dan tidak merusak fitrah kenabiannya. Namun, ini tergantung dari konotasi dan denotasi apa yang dipakai MAM dengan kata “rembes”. Bila bermakna peyoratif, maka mengandung unsur penghinaan. Bila tidak, maka netral.
Namun lagi-lagi ketika disampaikan dengan mimik dan intonasi yang terkesan menyepelekan, sebagian penonton pasti akan cenderung berpikir ini penghinaan. Di situ letak kekurangtepatannya. Menyebut sakit Nabi, selayaknya seorang Muslim melakukannya dengan menunjukkan rasa empati dan kesedihan, mengenang duka, derita, dan rasa sakit beliau.
Soal ketiga, menyebut masa kanak Rasulullah tidak terurus, secara tekstual dan logis, bertentangan dengan dua ayat dalam surat Adh-Dhuha:
ما ودعك ربك وما قلى
“Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu”
الم يجدك يتيما فاوى
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu)”
Secara logis, bagaimana mungkin Allah (subhanahu wa ta’ala) akan membiarkan telantar tak terurus seorang anak yang kelak dipersiapkan-Nya sebagai Kekasih dan Pembawa Risalah-Nya? Tanpa perlu berspekulasi lebih jauh, berbagai riwayat telah menunjukkan, meski masa kanak Nabi dipenuhi duka-nestapa, beliau tidak telantar dan senantiasa memperoleh pengasuhan terbaik dari orang-orang di sekelilingnya. (bersambung)
*) Dipetik dari akun facebook Muhammad Al-Fayadl, Sabtu 7 Desember 2019.