Benarkah Islam Tercabik-cabik? Ini Pandangan Imam Masjid New York
Imam Shamsi Ali, Imam Masjid New York, Amerika Serikat, memberikan pandangan bagaimana nilai ukhuwah islamiyah itu untuk kemajuan dan kejayaan Islam dan kaum Muslimin. Kepada ngopibareng.id, Presiden Nusantara Foundation, ini secara khusus menyampaikan gagasanya:
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyebutkan: “Allah SWT menyempitkan bagiku bumi ini dan aku lihat ujung barat dan ujung timur. Dan pada kedua ujung itu saya melihat umatku”.
Ungkapan baginda Rasul itu harusnya menjadi satu pembuktian nubuwah. Sesuatu yang diucapkan di abad ke 7, tapi di abad 21 saat ini menjadi sesuatu yang nyata di hadapan mata. Umat Rasul itu ada di mana-mana; timur dan barat, utara dan selatan bumi ini. Umatnya menjadi kominitas dunia yang paling universal.
Tabiat universalitas umat itu dengan berbagai ragam perbedaan yang ada ternyata disatukan oleh satu titik atau akar. Kesatuan umat itu disatukan oleh akar imannya. Apapun keadaan akar iman itu selama masih hidup akan terikat oleh “wihdah imaniyah” atau kesatuan iman itu.
Ukhuwah di mata Allah
Salah seorang ahli fiqh di kalangan thobiin adalah Abu Idris Al-Khawalani. Beliau ini sekaligus menjadi Qadhi Damaskus ketika itu. Beliau menceritakan bahwa di saat-saat awal mencari ilmu di masa mudanya beliau pergi ke mesjid Damaskus yang terkenal. Di masjid ini masih ditemui beberapa sahabat yang masih sempet hidup dan dekat dengan Rasulullah SAW.
Beliau menuturkan: “ketika pertama kali saya masuk ke dalam masjid itu saya melihat seorang anak muda yang dikelilingi banyak orang, kata-katanya didengar dan sangat dihormati. Saya pun bertanya siapa gerangan anak muda itu. Salah seorang jamaah memberitahu bahwa anak muda itu adalah Abu Muadz bin Jabal.
Saya pun bertekad bertemu dengannya dan menjabat tangannya. Keesokan harinya saya ingin datang ke masjid lebih awal untuk menunggunya. Namun begitu saya masuk, anak muda itu telah berada di mesjid untuk shalat tahajjud.
Sayapun tunggu hingga selesai sholat, lalu saya mendekat dan mengatakan: “Saya mencintaimu karena Allah”. Muadz menarik saya dan bertanya: “demi Allah engkau cinta saya”? Saya jawab: “demi Allah saya cinta engkau”.
Muadz kemudian memberitahukan kepadanya sebuah berita gembira dari Rasulullah SAW: “ada sekolompok orang di hari Kiamat nanti, para syuhada, shiddiqin, bahkan para nabi sekalipun akan irihati kepada mereka. Mereka ada duduk di atas sebuah mimbar yang terbuat dari cahaya. Mereka itu adalah orang-orang yang mencintai karena Allah”.
Mendengarkan hadits itu langsung dari Muadz yang dikenal sebagai sahabat yang sangat ahli dalam ilmu fiqh, Abu Idris melompat kegirangan dan berlari keluar mesjid ingin memberi tahu kepada semua orang tentang hadits itu. Tiba-tiba dia ketemu lagi dengan sahabat lain berbama As-Somit Ibnu Obadah. Diapun dengan gembira menyampaikan apa yang baru didengarnya dari Muadz bin Jabal RA.
As-Somit Ibnu Ubadah RA mengajaknya mendekat lalu mengatakan: bahwa Rasulullah SAW meriwayatkan dari Allah (hadits Qudsi) mengatakan: “menjadi kewajibanku, menjadi kewajibanku, menjadi kewajibanku untuk mencintai siapa yang saling mecintai karena Aku” kata Allah dalam hadits Qudsi.
Mendengar itu dari As-Somit Ibnu Ubadah, Abu Idris menjadi girang luar biasa. Dalam satu majlis dan masa beliau mendapatkan dua hadits yang sangat luar biasa dari dua sahabat nabi yang juga sangat luar biasa tentang keutamaan saling menyayangi karena Allah SWT. (bersambung)