Ujian Pandemi: Bertahan dalam Perkawinan
Oleh: Sirikit Syah
Sambil nyruput kopi –emak-emak juga doyan ngopi, lho- beberapa emak membahas mengapa angka perceraian meningkat. Mereka tengah menikmati ‘me time’, waktu bagi diri sendiri, ketika pendampingan sekolah daring selesai, anak-anak dan suami sudah santap siang, sedang istirahat atau tidur siang. Inilah waktunya emak-emak menghibur diri sendiri dengan ngopi bareng di rumah tetangga.
Emak-emak ini tentu sumbernya tak hanya dari koran serius atau istilah kerennya mainstream, tetapi juga dari program infotainment di televisi, media sosial, dan yang terutama, menyaksikan sendiri. Di sekitar mereka, keluarga, teman, tetangga, satu per satu mengalami perceraian.
“Lebih baik bercerai daripada tewas dibunuh seperti ibu dan anak gadisnya di Subang itu,” kata emak A.
“Aku rela dimadu daripada dicerai,” kata emak B.
“Lho, gak ada pilihan lain tah selain dicerai, dimadu, atau dibunuh?” kata emak C dengan logat Suroboyoan yang khas. Lalu mereka bertiga tertawa-tawa, menertawai nasib mereka sendiri. Ada yang bekerja lebih keras karena suami ter-PHK, ada yang WFH tapi malah dobel kerja juga karena harus dampingi anak sekolah daring alias merangkap jadi guru. Ada pula yang memang tidak berkarir, tidak bekerja, tidak punya penghasilan sendiri, dan …. setoran dari suami terus menyusut atau berhenti gara-gara pandemi.
Emak-emak tentu tidak membaca data bahwa memang tingkat perceraian di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2015, sebanyak 5,89 persen pasangan suami istri bercerai (hidup). Jumlahnya sekitar 3,9 juta dari total 67,2 juta rumah tangga. Pada masa pandemi tahun 2020, persentasenya naik menjadi 6,4 persen dari 72,9 juta rumah tangga. Sekitar 4,7 juta pasangan bercerai.
Biasanya perceraian disebabkan pertengkaran yang tiada henti, salah satu meninggalkan pasangan, atau karena faktor ekonomi. Kalau hendak dikaitkan dengan Covid dan pandemi, tiga-tiganya masuk. Ekonomi rumah tangga merosot, suami istri bertengkar setiap hari, salah satu meninggalkan pasangannya.
Memang pandemi virus Corona ini menyebabkan runtuhnya ekonomi keluarga. Pabrik-pabrik turun omzet atau bangkrut, tutup. Karyawan dirumahkan atau di-PHK. Yang berwirausaha tak bisa bergerak karena PPKM (alias lockdown tanpa ditanggung negara), mobilitas dibatasi atau dilarang. Ini antara lain yang menyebabkan persoalan ekonomi keluarga yang bisa berujung perceraian. Namun, ada faktor lain. Maraknya komunikasi dunia maya menciptakan godaan gaya hidup (ingin seperti teman atau artis), virtual affair (perselingkuhan lewat WA – tak sedikit suami aniaya atau bunuh istri karena lihat chat WA istri dengan lelaki lain).
“Aku pernah baca di koran, di Jepang perceraian tinggi di kalangan usia pensiunan. Yang minta cerai biasanya istrinya. Sudah lanjut usia kok minta cerai ya?” tanya emak A.
“Karena, istri-istri itu terganggu hidupnya ketika suami banyak di rumah, yang sebelumnya selama puluhan tahun berangkat pagi pulang malam. Apalagi kalau suaminya pensiunan cerewet,” emak C berusaha menjelaskan.
Lalu mereka membahas, memang suami ter-PHK atau pensiun, atau WFH, cukup ‘mengganggu’. Perbedaan yang dulu diabaikan atau ditoleransi, kini dihadapi sehari-hari. Perbedaan semakin meruncing. Gaya tutur (satunya lembut satunya kasar), kebiasaan (satunya rapi-bersih satunya sembrono-jorok), tampak di depan mata 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Konflik pasangan lansia tak terhindarkan lagi. Harapan bahwa makin tua makin menyatu malah terjadi sebaliknya: ego makin kuat, tidak ada yang mau mengalah. Waktu masih muda bisa menerima kelemahan pasangan, ketika tua, itu menjadi persoalan. Ini ditambah faktor ekonomi-pandemi, dan faktor media sosial-gaya hidup. Perceraian menjadi pilihan paling mudah.
“Untung ya kita masih bertahan dalam perkawinan,” kata emak B. “Artinya, kita ini lulus ujian pandemi ya. Mangan ora mangan, mati urip, wis dilakoni ae karo cak bojo. Lha wong wis kadung,” lanjutnya sambil tertawa.
Tiga emak-emak yang sedang jagongan di rumah salah satu emak itu kembali menyeruput kopi dan mengunyah pohong goreng. Kemudian, yang dua buru-buru pulang karena adzan Ashar sudah terdengar dan tugas rumah tangga sudah menanti.
*Sirikit Syah, ibu 2 anak, nenek 3 cucu