Uglu Budi Sugiharto, Kenakalan Seorang Wartawan
Wartawan memang bukan sekadar seorang pencerita peristiwa. Ia adalah penutur sekaligus kritikus terhadap peristiwa yang dianggapnya kurang pas. Karena itu, seorang wartawan biasanya kritikus sejati. Saya menyebutnya sebagai "penghasut ulung" yang menyadarkan publik melalui tulisan dan narasinya.
Wartawan ulung selalu tak puas hanya sebagai pelapor peristiwa. Dia akan melajut sebagai pengonstruksi kebenaran. Setidaknya kebenaran faktual. Sesuatu yang bisa konstruksi lewat indera.
Biasanya, wartawan sesungguhnya selalu nakal. Nakal adalah kosa kata yang menunjukkan kecerdasan yang usil. Bukan jahat. Keusilan yang terkonstruksi. Keusilan yang sistematis.
Sosok wartawan yang seperti itu ada pada diri Budi Sugiharto, wartawan yang akrab dipanggil Uglu. Yang hari ini menghadap Sang Khaliq di usia muda: 47 tahun.
Saya tidak tahu persis kapan dia mengawalinya sebagai seorang wartawan. Tapi sebagai alumnus Stikosa --dulu Akademi Wartawan Surabaya (AWS)-- pasti sejak mahasiswa sudah bergelut dengan dunia ini.
Yang saya tahu ketika ia menjadi wartawan Detik.com. Portal berita pertama yang didirikan kakak kandungnya Budiono Darsono. Yang kemudian juga menjadi pendiri Kumparan.com.
Lepas dari Detik.com, ia mendirikan Jatimnow.com. Portal berita yang berbasis di Surabaya. Yang kenakalan-kenakalan Uglu tercermin dalam setiap pemberitaannya.
Kenakalan seperti apa? Kenakalan yang selalu mempertanyakan glorifikasi seorang tokoh. Ia bisa kritis terhadap narasumber, tapi bisa juga sangat akrab dengannya.
Ia menghayati betul jiwa kewartawanannya. Yang tidak ada kawan dan lawan sejati dalam menjalankan profesinya. Selalu dalam situasi dang kadang kawan, dang kadang lawan.
Loyalitasnya bukan pada orang per orang. Apalagi kepada publik figur yang selalu menjadi obyek media. Loyalitasnya hanya pada profesi yang harus menyediakan narasi faktual kepada pembacanya.
Karena pertemanan dan sesama profesi, ia pernah membantu saya dalam kontestasi politik. Tapi ia bisa menjadi sangat kritis ketika tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan.
Suatu ketika, ia dengan cerdik mendesain saya agar bisa foto bersama dengan Tri Rismaharini jauh hari sebelum menjadi walikota Surabaya. Dalam sebuah momen yang saya --dan mungkin Bu Risma-- tidak sadar berada dalam skenario yang dibikinnya.
Kecerdikan dan keusilannya selalu bisa menghasilkan narasi berita yang menarik dibaca. Yang mungkin tidak bisa membuat semua orang senang. Tapi mereka juga tidak bisa membencinya.
Uglu bukan hanya seorang wartawan yang nakal dan usil. Tapi juga selalu berhasil menggalang sejumlah wartawan lainnya untuk bersama-sama dia. Dalam satu barisan yang sejalan dengan isu-isu yang dilontarkannnya.
Disinilah keunggulan Uglu sebagai wartawan. Keusilan, kenakalan, dan kemampuan menggalang wartawan lainnya seringkali membuat seorang publik figur tak berkutik.
Ia selalu membuat seorang publik figur dalam situasi yang terus menerus benci tapi rindu. Benci saat dikritisi, tapi rindu untuk selalu menjadi obyek tulisan maupun fotografi Uglu.
Tidak banyak wartawan kekinian yang punya kemampuan seperti dia. Yang begitu menghayati kewartawanan dengan segala keusilan dan kenakalannya.
Saya yakin akan banyak orang yang merindukan wartawan seperti Uglu. Baik itu seorang publik figur maupun rekan sesama wartawan yang selama ini menjadi "anak didiknya."
Rasanya belum ada yang bisa mengalahkan kenakalan dan keusilan Uglu sebagai wartawan di Surabaya. Yang selalu punya ide-ide kreatif dalam segala suasana dan medan.
Ia hanya bisa dikalahkan dengan sakit yang akhirnya merenggut nyawanya di usia muda. Padahal ia masih tetap semangat ketika "kelumpuhan" sebagian sempat menghinggapinya.
Selamat jalan ya Uglu. Kami semua juga antre menyusulmu di alam kekal yang kamu diami sekarang.