Apa Jadinya Jika Mahasiswa Asing Bawakan Berita Bahasa Indonesia?
Membaca berita dengan bahasa Indonesia merupakan hal umum bagi orang Indonesia. Namun, bagaimana bila membaca berita dalam Bahasa Indonesia dibacakan oleh pelajar dari luar negeri dengan dialek dan gestur yang berbeda.
Hal ini terlihat di Pusat Bahasa Universitas Surabaya (Ubaya). Sebanyak 60 mahasiswa asing dari 21 negara bertanding lomba membaca berita berbahasa Indonesia.
Devi Rachmasari, selaku Direktur Pusat Bahasa Ubaya dan ketua panitia lomba, mengatakan, lomba ini diadakan untuk mengenalkan Bahasa Indonesia lebih detil dari pelafalan, intonasi dan tanda baca.
"Tujuanya tentu ingin menjadikan bahasa Indonesia lebih global lagi di internasional, serta untuk mengenalkan program BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) di pusat bahasa Ubaya," ujar Devi Rachmasari.
Lebih lanjut, Devi Rachmasari menjelaskan, bahwa lomba ini terdiri dari tiga babak, yaitu babak pertama membacakan berita yang sama tentang pemerintahan Jawa Timur, lalu babak kedua akan ada 10 peserta yang lolos dengan membaca berita yang sudah disiapkan juri sebelumnya, terakhir akan ada tiga orang yang terpilih dan memperebutkan juara 1, 2 dan 3.
Salah satu peserta asal Jerman, Kamila Barbara, mengungkapkan, dirinya sedikit kesulitan membacakan berita Bahasa Indonesia, karena membaca berita berbeda dengan membaca cerita pada umumnya.
"Senang, tapi sulit karena membaca berita berbeda dengan membaca cerita. Orang Indonesia sangat cepat dalam membaca berita itu juga sulit bagi saya (Kamila)," kata Kamila, mahasiswa Darmasiswa UGM.
Meski demikian, Kamila mengaku, tetap akan mempelajari bahasa Indonesia lebih dalam lagi, sebagai bekal keinginannya yang ingin bekerja di kedutaan.
Selain Kamila, salah satu peserta asal Tiongkok, Liu Tianhui dari darmasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) menuturkan, tata Bahasa Indonesia dan struktur kalimat yang berbeda dengan Tiongkok, membuatnya kebingungan dalam memahami maknanya.
"Nama orang Indonesia yang berbeda dengan Tiongkok, serta urutan-urutan katanya yang berbeda seperti nama saya di sana (Tiongkok) saya nama itu membuat saya kesulitan juga," ujar Liu Tianhui.
Dwi Laily Sukmawati, penerjemah Balai Bahasa Jawa Timur yang hadir sebagai juri menjelaskan, bukan hanya cara membaca yang dinilai melainkan ada empat kriteria lainnya yang menjadi standar penilaian.
"Kelancaran membaca, intonasi bagaimana peserta menggunakaan intonasinya dalam membaca berita, pelafalan bagaimana mereka melafalkan dengan baik dan benar, serta penampilan, gaya pakaian, kontak mata, postur tubuh," jelas Dwi Laily.
Menurut Dwi Laily, dialek bahasa menjadi kendala bagi sebagian besar peserta, karena dialek asli bahasa negaranya masih terbawa sehingga belum benar dalam mengucapkan bahasa Indonesia.
"Dialek yang saya lihat masih menjadi kendala bagi peserta, seperti dari Jerman mereka kan terbiasa dengan dialek yang diujungnya ada r dan c nya itu masih banyak terlihat, jadi bahasa Indonesia yang diucapkan juga tidak jelas," tambahnya.
Peserta lomba ini merupakan mahasiswa yang tergabung dalam program Darmasiswa Republik Indonesia tahun ajaran 2018/2019. (pts)