Uang Membelit Demokrasi Kita
Sidang perseteruan Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) usai pada Jumat, 21 Juni 2019. Tinggal menanti sembilan hakim MK mengambil keputusan. Rencananya, pekan depan diumumkan.
Tentu saja, selama sidang itu, lini masa media sosial kita penuh komentar. Ada yang nyinyir. Ada yang mengaku senang.
Tiap pendukung kubu punya persepsi juga pendapat sendiri. Tapi semuanya sama. Bikin pening kepala kita.
Pokok perseteruan hanya satu. Konon ada kecurangan: Terstruktur, Sistematis, Masif. Kabarnya juga marak pemilih hantu.
Kita tidak akan mendiskusikan itu. Bukan tak perlu. Biar para ahli hukum UGM itu yang berseteru.
Ada hal yang tentu saja lebih menarik digali. Sebenarnya, bagaimana praktik dan kondisi demokrasi. Bukan asumsi. Tapi fakta yang benar-benar terjadi.
Beberapa waktu lalu, seorang teman di sebuah kabupaten di Jawa Tengah, membagi pengalamanya. Dia punya dua anak yang beranjak dewasa. Usianya sudah bisa memberi suara.
Seorang kandidat anggota DPRD, datang kepadanya. Menawarkan program beasisiswa. Nilainya Rp 450 ribu persiswa.
Tanpa syarat? Tentu tidak. Calon itu meminta siswa harus mencoblos namanya. Saat di bilik suara.
Akan lebih diterima, kalau dia juga mencoblos nama yang didukungnya untuk kursi DPRD Provinsi dan DPR Pusat. Mau? Tentu saja.
Siapa yang tega menolak belaian uang. Dengan kondisi ekonomi yang meroket ini, para orang tua butuh ekstra dana. Untuk memastikan biaya beli buku pendidikan tersedia.
Yang lebih pintar tentu sang kandidat. Paket hemat. Karena dia tak hanya meraup satu suara.
Pasti, ayah dan ibunya, juga turut serta. Tapi beneran uangnya diberikan? “Sudah habis,” jawab sang teman sambil tertawa.
Namun, ada suatu peristiwa unik. Saat salah satu temannya menanyakan, tentang calon presiden yang harus dicoblos. “Saya ASN, masak harus pilih yang itu?” tanyanya.
Sang kandidat juga pintar. Hanya menjawab diplomatis. “Ibu kan paham, siapa yang sekarang memberikan beasiswa. Tokoh itu yang kami dukung sekarang,” katanya bersilat lidah.
Tentu saja, ini hanya salah satu cara. Seorang teman lainnya, berbagi pengalaman. Masih urusan belitan uang.
Dia tinggal di sebuah kota di Provinsi Kalimantan Timur. Sebut saja namanya Kumbang. “Pemilu 2014, satu suara harganya Rp 150 ribu,” ungkapnya.
Sekarang? “Pemilu kini, naik jadi Rp 250 ribu,” tambahnya. Bisa jadi, kenaikan harga ini mengikuti inflasi.
Kumbang punya tim sukses. Di kabupaten, kecamatan, dan desa. “Mereka kita gaji, sebulan satu juta,” tuturnya. Itu masih akan ditambah biaya paket data, biaya koordinasi, dan biaya transportasi.
Di tiap TPS, paling banyak dikejar 10 suara. Timnya akan door to door, mendatangi tiap kepala keluarga. “Kita tawari langsung,” katanya.
Tak pernah lewat perantara. “Jika ada yang bilang dia bisa punya 100 suara, itu pasti bohong,” paparnya. Dia langsung dicoret dari daftar target.
Karena, untuk menyakinkan empat suara saja, butuh usaha keras. Bahkan, kalau ada kepala keluarga yang menawar, mereka juga langsung dicoret. “Berarti, sudah ada yang datang dan mau menguyur,” lanjutnya.
Kalau tetap dibayar, pasti rugi. Terlanjur memberi tapi tiada bukti. Dan uang hilang dibawa pergi.
Memberi langsung ke kepala keluarga itu cara yang paling terbukti. Pernah, timnya memberi bantuan ke kelompok nelayan atau klub sepak bola. “Banyak uang diberi, suara tak ada. Rugi kita,” ungkapnya.
Tiap kandidat dan tim sukses punya beragam gaya. Untuk menutup pergerakan lawan. Datang menawar harga suara lebih tinggi, tapi sejatinya membayar lebih murah.
Mereka datang hanya menawarkan uang muka. “Saya berani lebih. Saya kasih dulu Rp 50 ribu, sisanya Rp 350 ribu setelah terpilih,” kata Kumbang menirukan rayuan mereka. Kenyataanya, seusai Pemilu, tim sukses itu tak pernah menyambangi lagi.
Di area dengan pertarungan uang yang ketat, ada satu cara lagi untuk menjaga suara. Kandidat yang sering datang, dia bisa tertolong. Saat jumlah uang yang ditawarkan sama, orang akan memilih yang dia kenal.
Bahkan, demi memenangkan pertarungan, ada juga yang berani menawari uang lebih. Semisal, menanggung iuran BPJS selama lima tahun. Itu kalau sang kandidat terpilih.
Ada juga, pendekatan ke ketua KPPS. Biasanya, uang diberikan glondongan. Sang ketua yang akan mengatur ke anggota lainnya.
“Pernah kita kasih tujuh juta,” ungkapnya. Biasanya mereka menggunakan undangan yang tak terpakai. Atau memindah suara dari kandidat lain yang masih satu partai.
Di TPS ini, kalau sudah ada satu kandidat masuk, mereka tak berani lagi menerima pesanan. Berbahaya. Bisa bikin konflik yang membuat mereka tak berdaya. Bahkan jadi pesakitan.
Memilih tim sukses juga penting. Kenal dan loyal adalah syarat utama. Karena, banyak juga yang bermain dua kaki. “Atau menyunat uang yang seharusnya diberi,” katanya.
Lantas, dia juga harus membayar para saksi. Tak di semua TPS. Hanya area yang dia akan ditabur uang. Dia menganggarkan Rp 500 ribu tiap orang. Saat menjelang maghrib, dia sudah tau berapa suara didapat.
Jadi, untuk pemilihan anggota DPRD atau DPR, program kampanye, survey, sejatinya tidak ada arti. Pasang baliho, stiker, atau umbul-umbul juga buang uang saja. Karena semua maunya langsung ke kantong warga.
Kumbang terdiam agak lama, saat saya tanya kapan praktik belitan uang ini berhenti. Menurutnya semua kembali ke masyarakat. “Mungkin saat mereka sudah sadar,” gumamnya.
Kumbang meyakini, masih ada anggota DPRD atau DPR yang murni. Tidak main uang. Tapi, prosentasenya kecil sekali.
Menurut pengalamannya, satu kandidat DPRD Kabupaten atau Kota bisa menghabiskan Rp 1 miliar hingga Rp 1,5 miliar untuk membeli suara. Untuk level provinsi dan pusat lebih tinggi lagi.
“Ini sebenarnya urusan gengsi. Kami malu kalau tidak jadi,” tegasnya. Untuk urusan uang suara, tiap kandidat memupuknya jauh-jauh hari. Mengumpulkannya entah dari mana.
Selepas waktu Isya, para tim sukses merapat. Jam 08.00 malam, uang suara mulai turun ke koordinator kecamatan. Setelahnya, turun ke desa dan keluarga.
Sengaja diberikan malam. Karena kalau diguyur sore hari bisa berabe. “Mereka bisa lupa dengan nama kandidat kita,” bisiknya sambil tertawa.
Fungsi legislasi dalam demokrasi penting sekali. Membentuk tatanan pemerintahan. Ada fungsi check and balance, monitoring, keseimbangan kuasa. Tapi, dengan kondisi seperti ini, janganlah kita berharap lebih.
Anggap saja, saat ini, kita semua sedang bersandiwara. (Ajar Edi)