Uang Haji, Konsumsi dan Prestise Sosial
Oleh: Akh. Muzakki
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024
“Murah, murah,” kata seorang lelaki berdarah Arab. “Tiga lima riyal, tiga lima riyal,” sahut lainnya. Belum usai suara dua penjual itu berhenti, terdengar pula sesahutan suara para penjual lainnya. Masing-masing menawarkan barang dagangannya. Kepada para jemaah haji yang tinggal di hotel-hotel sekitarnya.
Ramai sekali jalanan sepanjang jajaran hotel pagi itu. Selasa, 11 Juni 2024. Di daerah Syisyah, di Makkah. Salah satu daerah yang dekat dengan lokasi Masjidil Haram. Jarum jam tanganku kala itu masih menunjuk ke angka 06:30 Waktu Arab Saudi (WAS).
Pagi sekali. Jemaah terlibat tawar-menawar harga. Ada juga yang sudah mulai beralih. Menenteng barang belian di tangan. Ada makanan. Ada pula pakaian.
Kalau dirunut, Jemaah haji Indonesia sebelum subuh sudah meninggalkan hotel tempat mereka menginap. Mereka bergegas menuju masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah. Ke Masjidil Haram, bukan soal sulit. Karena mereka selalu difasilitasi oleh bus pengangkut. Namanya, Bus Sholawat.
Sekali naik di dekat hotel, lalu turun di terminal dekat Masjidil haram. Begitu pula sebaliknya. Bagi yang berkenan shalat jamaah di masjid dekat hotel, maka tinggal jalan kaki saja. Maka, jam 05.00 pagi WAS pun, sebetulnya Jemaah Indonesia sudah berlalu-lalang di depan hotel.
Potensi Pasar
Maka, munculnya banyak lapak di depan dan kanan kiri hotel persis seperti peribahasa, “ada gula ada semut”. Ada potensi pasar besar. Namanya jemaah haji Indonesia. Karena itu, potensi pasar itu harus direspon. Supply barang pun disediakan. Kulihat sendiri, hampir tidak ada jemaah haji Indonesia yang berlalu dari lapak-lapak itu hanya shifrol yadain. Tangan kosong. Pertanda tak beli apa-apa. Pertanda hanya lihat-lihat. Hampir tidak ada. Masing-masing mereka selalu menentang sesuatu di tangan.
Apa yang ditenteng? Ada yang menenteng baju. Biasanya baju-baju tradisional Arab. Seperti abaya dan gamis. Ada juga barang dagangan dalam bentuk ornamen-ornamen haji. Ada serangkaian produk songkok, termasuk songkok putih yang di Indonesia lebih dikenal dengan “songkok haji”.
“Kalau mau beli songkok haji, beli yang produk India. Murah-murah,” ujar seorang lelaki kepada temannya sambil berjalan melewat para penjual lapak. Rupanya, saking seringnya mereka menjumpai produk songkok haji itu, mereka pun sudha bisa mengetahui peta harga. Lepas dari itu, jangan ditanya kalau soal tasbih. Banyak ragam dan harganya. Dan banyak pula penjualnya.
Ada yang khas. Penjual kurma. Ada dua pola berdagang mereka. Ada yang menjual kurma di atas motor. Ada pula yang di atas keranjang atau tray belanjaaan yang ditumpuk di pinggir jalan. Kedua pola tersebut memang berbeda pada bagaimana cara menyajikan atau men-display barang dagangan. Namun, keduanya sama-sama atraktif dalam menjajakan dagangan kurmanya. Apalagi, makanan ini memang khas Arab. Tentu punya kekhasan tersendiri dalam daya tariknya bagi pembeli.
Nah, biasanya, yang mampir ke penjual kurma ini sepasnag suami-isteri. Memilih-milih bersama lalu membelinya. Semua pembeli dari jemaah haji Indonesia berlalu dengan membawa tentengan tas plastic berisi barang belian masing-masing.
Menyaksikan praktik jual-beli di pinggir jalan sepanjang jajaran hotel di Sektor 1 hingga Sektor 2 di Daker Mekkah, aku pun teringat kembali pada konsep ekonomi kerakyatan. Hasil inisiatif Bung Hatta. Praktik ekonomi itu berpusat pada ekonomi tradisional.
Masyarakat lokal menjadikannya sebagai fondasi bagi hidup dan penghidupan mereka bersama. Dikelola sendiri oleh mereka. Hanya, haji adalah momen musiman. Setahun sekali. Sisanya dalam setahun, paling banter, diiisi oleh kegiatan ibadah umrah.
Lama memang, haji menjadi diskursus multidimensi. Tak hanya soal ibadah yang selalu mengemuka. Ada soal-soal lain yang menyertainya. Mulai dari soal sosial kemasyarakatan yang menandakan pergerakan yang kontinum dari cara beragama dan bermasyarakat umat Islam. Hingga ekonomi yang menimbulkan perputaran uang dalam jumlah besar. Apalagi, pemandangan praktik jual-beli dan transaksi ekonomi yang kuceritakan di atas hanya contoh kecil saja. Terjadi di Sektor 1 dan 2 di Daker Mekkah.
Tapi, jika Anda langkahkan kaki ke semua sektor penginapan Jemaah haji Indonesia hingga Sektor 11, selalu ada layanan bisnis-ekonomi dalam bentuk praktik jual-beli dan transaksi ekonomi antara jemaah haji Indoneia dan pedagang lokal.
Bertahun-tahun haji ternyata tidak hanya menjadi pemantik perputaran modal finansial besar. Tapi juga bergulirnya ekonomi kewargaan. Wajar karena memang haji mampu mengumpulkan anak manusia dalam jumlah besar di satu tempat dan waktu yang sama. Bahkan lebih dari itu, haji tidak saja memberikan ruang perputaran modal finansial di wilayah hulu, melainkan juga wilayah hilir. Wilayah hulu adalah wilayah kewenangan pemerintah. Bentuknya adalah penentuan akumulasi modal keuangan dalam bentuk Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) atau biaya yang dibayar langsung oleh jemaah haji.
Hitungan kokretnya begini. Pemerintah melalui kesepakatan Komisi VIII DPR RI dan Kementerian Agama RI telah menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1445 Hijriah atau tahun 2024 senilai Rp. 93,4 juta. Dari BPIH Rp 93,4 juta itu, terdapat komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) atau biaya yang dibayar langsung oleh jemaah haji. Besarannya, rata-rata per jemaah harus membayar sebesar Rp 56.046.172 atau 60 persen dari BPIH. Besaran Bpih itu meliputi biaya penerbangan, akomodasi di Mekkah, sebagian akomodasi Madinah, biaya hidup (living cost) dan biaya visa.
Bisa kebayang kan besaran akumulasi finansial dari Bpih atau biaya yang dibayar langsung oleh jemaah haji? Seperti diketahui, total kuota haji Indonesia pada tahun 1445 H/2024 M adalah sebanyak 241 ribu. Rinciannya, terdapat 213.320 jamaah haji reguler dan 27.680 jamaah haji khusus. Maka, jika total jumlah jemaah haji Indonesia jalur regular membayar Bpih untuk musim haji 1445 H/2024 M ini saja, terkumpul dana akumulatif sebesar hampir 12 triliun (atau Rp. 11.955.769.411.040). Tentu ini besaran finansial yang sangat besar sekali. Dna itu terjadi hanya untuk satu musim haji saja.
Dan ternyata, urusan perputaran modal finansial tak hanya berhenti di wilayah hulu itu. Wilayah hilir pun tak kurang besarnya. Jika masing-masing jemaah haji regular Indonesia mengeluarkan anggaran pribadinya separuh saja dari Bpih, maka total anggaran warga masyarakat jemaah haji yang terstimulai untuk terbelanjakan mencapai hingga hampir 6 triliun. Hitungannya sederhana sekali. Separuh Bpih mencapai Rp. 28.023.086. Jika dana itu dikalikan dengan jumlah jemaah haji regular sebanyak 213.320, maka akumulasi modal finansial yang beredar dari jemaah haji regular bisa mencapai sebesar Rp. 5.977.884.705.520.
Saya menyebut anggaran yang dikeluarkan jemaah haji regular pada wilayah hilir yang mencapai separuh Bpih di atas dengan istilah biaya pendamping. Atau anggaran penyerta. Besaran angkanya memang tak sama antara satu jemaah dan jemaah lainnya. Bahkan potensi perbedaan itu juga sangat mungkin muncul dari satu gugus masyarakat ke, atau dibanding dengan, gugus masyarakat lainnya. Itu bergantung dari gaya konsumtif atas haji yang menjadi bagian dari prestise sosial.
Semakin tinggi gaya konsumtif atas haji, semakin tinggi pula biaya pendamping atau anggaran penyerta yang dikeluarkan. Begitu pula sebaliknya.
Perbedaan itu pun juga masih bergantung pada setting lokasi belanja. Bagi mereka atau gugus masyarakat yang memandang belanja di Arab Saudi semakin menaikkan prestise sosial atas ibadah haji, bisa dipastikan tingkat konsumsi dan belanja di Arab Saudi pasti jauh lebih besar daripada konsumsi dan belanja lokal di daerahnya. Bagi yang tidak dalam kecenderungan serupa dalam memandang prestise sosial, maka tingkat konsumi dan belanja di Arab Saudi juga tak jauh melebihi konsumsi dan belanja lokalnya.
Konsumerisme Haji
Masih ingatkah dengan kisah Suarnati Daeng Kanang (46), jemaah haji asal Makassar, Sulawesi Selatan? Kisah itu terjadi pada musim haji tahun 1444 H/2023 M. Sepulang dari Arab Saudi, dia melakukan aksi pamer emas dan tampilan glamor. Dia kenakan sejumlah perhiasan emas untuk menghiasi tubuhnya. Dia lakukan itu begitu turun dari pesawat yang membawanya dari Arab Saudi hingga tiba di Asrama Haji Sudiang Makassar, pada Rabu (5 Juli 2023). Akhirnya, Jemaah haji Wanita yang berprofesi sebagai pengusaha burger di Makassar menjadi pembicaraan nasional. Menghiasai pemberitaan banyak media nasional pula.
Aksi Borong Emas
Mengapa aksi borong emas di Arab Saudi dan tampilan glamor sepulang dati Arab Saudi itu terjadi? Itu semua soal prestise sosial. Mungkin saja konsumsi dna belanja lokal di negeri sendiri juga dilakukan oleh jemaah haji seperti dalam kasus Suarnati Daeng Kanang di atas. Tapi fakta bahwa ada praktik beborong sebagai penanda tingkat konsumsi dan belanja tinggi di Arab Saudi tak bisa dimungkiiri sebagai sebagai fenomena konusmtif di balik pelaksanaan ibadah haji.
Jika saja Joseph Henrich (ilmuwan dari University of Michigan Business School, Amerika Serikat) dan Francisco J. Gil-White (ilmuwan dari Departemen Psikologi, University of Pennsylvania, Amerika Serikat) meneliti ekonomi haji Indonesia, keduanya sangat mungkin akan merevisi teori yang mereka kembangkan tentang prestise sosial (social prestige). Dalam karya bersamanya berjudul “The evolution of prestige: freely conferred deference as a mechanism for enhancing the benefits of cultural transmission” (dalam jurnal Evolution and Human Behavior, vol. 22, no. 3 (Mei 2001):165–196, mereka menguraikan bahwa prestise sosial mengacu pada status otoritas yang diberikan kepada orang-orang yang diakui dan dihargai ata tiga hal: keahlian (expertise), kompetensi (competence), dan pengetahuan di bidangnya (knowledge in their domains).
Artikel karya Joseph Henrich dan Francisco J. Gil-White (2001)
Ternyata dalam kasus haji Indonesia, prestise sosial itu bukan urusan tiga hal utama, yakni keahlian, kompetensi, dan pengetahuan di bidangnya seperti disebut di atas. Prestise sosial dalam haji di atas, ternyata merujuk kepada status otoritas yang diberikan kepada seseorang atau gugusan orang yang diakui dan diharga atas konsumsi dan belanja yang mereka lakukan atas ritual haji. Fenomena ini bkan soal benar-salah. Tapi soal bagaimana seseorang atau gugusan orang yang menjadi Jemaah haji mempersepsi diri dan lingkungannya melalui pola konsumsi yang mereka lakukan di balik pelaksanaan ibadadh haji.
Jadi, melalui uraian panjang mengenai konsumsi haji dan identifikasi mengenai prestise sosial di balik pelaksanaan ibadah haji di atas, bisa disebut bahwa haji telah memberi berkah ekonomi melalui perputaran modal finansial yang besar. Antar masyarakat. Antar negara. Fenomena yang tergambar bisa saja berasal dari salah satu saja dari aktivitas ekonomi yang menginspirasi lahirnya apa yang layak disebut dengan the hajj street economy. Aktivitas transaksi ekonomi yang dilakukan di jalanan, trotoar dan sudut-sudut kota yang dilakukan selama musim haji di Arab Saudi. Tentu bisa juga dilakukan di mal-mal besar di Makkah, seperti Mal Cenomi dan Mal Al Hijaz. Bisa juga perputaran modal finansial dikelola oleh pemerintah atau negara. Aryinya, uang haji mengalir bisa mulai dari wilayah hulu hingga hilir.