Uang dan Politik dalam Pilkada DKI 2017 (1)
DALAM dua hari terakhir di media sosial bertebaran laporan adanya pembagian sembako di berbagai pemukiman, terutama pemukiman kelas bawah Jakarta. Pembagian sembako tersebut tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tapi terbuka, terang-terangan. Suasananya digambarkan seperti bazar sembako, tapi gratis.
Seorang netizen malah menyebutnya, seperti Hari Raya Idul Adha, ketika warga antri daging kurban. Pembagian dilakukan oleh tim sukses dengan melibatkan RT/RW. Seorang pegiat dunia maya di Jakarta Timur melaporkan, pembagian sembako dari orang-orang berbaju kotak-kotak itu dikawal oleh petugas kepolisian. Sementara kepolisian berdalih itu cuma sebatas pengamanan. Tidak ada kaitannya dengan membantu pelanggaran.
Suasananya sangat meriah. Benar-benar mencerminkan sebuah pesta rakyat. Rakyat kecil di Jakarta bergembira ria menerima guyuran rezeki nomplok yang datangnya seperti arus air bah dalam bentuk paket-paket sembako yang didrop oleh mobil-mobil truk. Seorang warga malah bercanda supaya Pilkada dilakukan setiap bulan. “Seneng banget dapet sembako gratis.”
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jakarta Mimah Susanti seperti dikutip media menyatakan, mereka tidak berdaya mencegah kecurangan tersebut. Para pelaku money politics ini lebih galak dari para petugas lapangan Panwaslu. “Begitu kita protes, mereka malah marah-marah. Kita sedang ngomong malah kita dipegang (dicekik) lehernya. Mereka lebih galak dari kita,” ujar Mimah.
Untuk memenangkan Pilkada, Politik uang (money politics), kampanye hitam (black campaign) dan kecurangan adalah tiga instrumen yang tersisa yang bisa dimainkan pada hari tenang. Sejumlah survei menyebutkan, politik uang bisa memainkan peran penting dalam pemenangan.
Pada Pemilu 2014 lembaga survei Indikator menemukan data sebesar 41.5 persen pemilih di Indonesia menilai politik uang bisa diterima sebagai hal yang wajar. Data tersebut juga mengungkapkan tidak ada perbedaan gender laki-perempuan, desa-kota, semua sama sikapnya dalam menilai politik uang.
Jelang putaran pertama Pilkada DKI 2017, LSI menyebutkan ada sebanyak 47.8 persen pemilih di Jakarta terpengaruh politik uang. Sementara yang menyebutkan tidak terpengaruh hanya 35.8 persen. Sebagian dari mereka menyatakan menunggu “serangan fajar” untuk memutuskan pilihan. Dengan selisih suara yang sangat tipis, maka politik uang bisa mengubah konstelasi dukungan dan perolehan suara.
Di daerah yang jumlah penduduknya sedikit, seorang kandidat tidak memerlukan uang yang terlalu banyak untuk memenangkan Pilkada. Sebagai contoh sebuah kabupaten di luar Jawa dengan jumlah pemilih 80.000 orang dan dengan tingkat partisipasi pemilih 60 persen, atau sekitar 48.000 pemilih, maka cukup dengan uang dalam jumlah kecil, Pilkada sudah bisa dimenangkan. Katakanlah setiap orang diberi uang sebesar Rp 50.000, bila yang berlaga tiga pasangan, maka hanya diperlukan dana sebesar Rp 960 juta. Bila dua pasangan yang berlaga, hanya diperlukan dana sekitar Rp 1.2 M.
Hitung-hitungannya begini. Untuk memenangkan Pilkada di daerah, ditentukan oleh suara terbanyak. Berbeda dengan DKI Jakarta yang mensyaratkan seorang pemenang, harus meraih suara sebanyak 50 persen plus 1. Bila yang berlaga tiga pasangan, maka untuk menang hanya diperlukan setidaknya 40 persen suara atau 19.200 suara x Rp 50.000 = Rp 960 juta. Sementara bila hanya dua pasangan, angka yang aman untuk menang cukup hanya sebesar 51 persen atau 24.480 pemilih x Rp 50.000= Rp 1,224 M. Sangat kecil khan?
Dengan hitung-hitungan semacam itu jangan kaget bila ada pengusaha yang bisa “beternak” penguasa daerah. Semakin besar skala pengusahanya, semakin besar dan banyak pula yang bisa diternaknya. Di suatu daerah di Jawa, pada periode lalu ada seorang pengusaha wanita yang anak dan menantunya bisa menjadi kepala daerah di tiga kota/kabupaten. Ada yang menjadi walikota dan ada yang menjadi wakil bupati.
Pola semacam itu bisa diadopsi dalam skala yang lebih besar sampai ke level gubernur, bahkan presiden. Hanya saja jumlah dananya tentu jauh lebih besar. Tergantung daerahnya. Di beberapa wilayah Kalimantan yang menjadi penghasil tambang, money politics sebesar Rp 50 ribu tidak laku. Angkanya bisa smpai Rp 500 ribu/orang. Jumlahnya cukup besar, tapi jumlah pemilihnya kecil.
Bagaimana dengan Jakarta? Pada pilkada putaran pertama jumlah pemilih sebanyak 7.218.279 orang . Yang menggunakan hak suaranya sebanyak 5.563.425 (77.1 persen). Pada putaran kedua yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) total sebanyak 7.218.254 suara. Katakanlah seorang pemenang supaya aman harus memenangkan menimal 51 persen suara dengan tingkat partisipasi pemilih sama sebesar 77.1 persen. Untuk menang, suara yang diperlukan sebanyak 2.838.289 orang.
Bila semua diguyur dengan sembako atau uang senilai Rp 100 ribu, hanya diperlukan dana sekitar Rp 283 miliar. Katakanlah jumlahnya dinaikkan menjadi dua kali lipat Rp 200 ribu/orang, maka hanya diperlukan sekitar Rp 567 miliar. Tidak sampai Rp 1 triliun. Jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan nilai proyek yang akan diperoleh.
Apa keuntungan pengusaha dengan mendukung seorang kandidat? Seperti bunyi pepatah Barat, TIDAK ADA MAKAN SIANG GRATIS. Dengan mendukung seorang kandidat, maka pengusaha bisa mendapat berbagai kompensasi. Mulai dari proyek pengadaan di pemerintah daerah/provinsi –yang ini levelnya ecek-ecek—sampai berbagai konsesi lahan dan proyek besar.
Dengan harga lahan yang mahal di Jakarta, mereka bisa baku atur mendapat lahan yang murah dan strategis melalui skema tukar guling. Skema seperti ini biasanya menjadi mainan para pengembang. Sementara dalam skema raksasa, seperti banyak dipersoalkan adalah proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta yang nilai ekonomisnya diperkirakan bisa mencapai Rp 500 triliun.
Jadi Gubernur DKI memang tidak perlu dan jangan main-main apalagi korupsi APBD. Nilainya sangat kecil. Ecek-ecek. Cukuplah bermain dan korupsi lewat kebijakan. Buatlah kebijakan dan aturan yang menguntungkan para pengembang dan pengusaha besar.
Korupsi APBD sangat mudah ditelisik. Keuntungan lain dengan tidak bermain APBD, bisa dikapitalisasi menjadi citra seorang gubernur yang bersih. Ini bisa menjadi modal untuk dimainkan di media konvensional maupun sosial, sebagai alat kampanye yang ampuh. Itulah kekuatan Ahok.
Masih banyak keuntungan-keuntungan ekonomis lain bila calon yang didukung pengusaha besar ini memenangkan Pilkada seperti di Jakarta. Jadi bila saat ini hujan sembako dan hujan uang di Jakarta seperti air bah, tidaklah terlalu mengherankan.
Perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha, akan melahirkan “bayi cacat” berupa birokrasi yang bekerja untuk kepentingan pengusaha dan merugikan rakyat kecil. Bila rakyat Jakarta cukup puas menukar suara mereka dengan uang receh dan sembako, maka selamanya mereka akan tetap menjadi kelas pinggiran dan recehan. ***
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi Konsultan Media dan Politik