Uang dan Politik dalam Pilkada DKI (2)
BERAPA besar biaya seorang kandidat yang berlaga di Pilkada DKI? Angka pastinya tidak pernah diketahui, karena begitu banyaknya variabel biaya yang harus dikeluarkan. Yang bisa kita ketahui hanya dana kampanye yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, dapat dipastikan angkanya jauh lebih besar dari yang dilaporkan, bahkan bisa berkali lipat.
Sudah menjadi rahasia umum dan seakan tahu sama tahu, walaupun dana tersebut diaudit oleh akuntan publik, namun tidak mencerminkan penggunaan dana sebenarnya. Jumlah sesungguhnya hanya kandidat, tim sukses inti, dan Tuhan yang tahu. Uang dan politik seperti, maaf, kentut. Ada bunyi dan baunya, tapi tidak kelihatan bentuknya.
Pada putaran pertama lalu pasangan Agus-Silvy melaporkan penggunaan dana sebesar Rp 68,95 miliar, paling besar dari ketiga pasangan calon. Jumlah pengguna dana kampanye terbesar kedua adalah pasangan Anies-Sandi sebesar Rp 64.719 miliar dan terkecil pasangan Ahok-Djarot sebesar Rp 53.696 miliar. Untuk kampanye putaran kedua pasangan Ahok-Djarot menyiapkan dana Rp 31,7 miliar. Sementara pasangan Anies-Sandi sebesar Rp 17,9 miliar.
Apa saja komponen biaya yang harus disiapkan oleh seorang kandidat. Setidaknya ada lima komponen. Pertama, biaya partai pengusung. Kedua, biaya relawan dan posko partai. Ketiga, biaya kampanye dan pengerahan massa. Keempat, biaya tim media sosial. Kelima, biaya saksi dan pengamanan suara. Di luar itu masih ada biaya-biaya “kecil” lainnya yang bila dirinci juga sangat besar. Mari kita perinci masing-masing biayanya.
Biaya partai pengusung. Untuk maju dalam pilkada, seorang kandidat harus mempunyai partai pengusung atau bila tidak punya partai pengusung, bisa menjadi calon independen. Dana untuk partai politik ini biasa disebut sebagai Uang Mahar. Ada juga yang menyebutnya Uang Perahu. Jumlahnya tergantung berapa besar jumlah partai pengusungnya. Makin banyak partai pengusung, makin banyak pula uang maharnya.
Apakah anda seorang kandidat kader partai atau bukan, juga sangat menentukan besarnya uang mahar. Jika kader internal dan yang bersangkutan seorang incumbent, biasanya hanya dimintai dana untuk menggerakkan partai. Namun, tergantung apa partainya dan apa posisinya di partai. Ada partai yang tetap mengharuskan membayar uang perahu, tak peduli anda kader atau bukan. Bila eksternal, mereka benar-benar diminta uang mahar, termasuk di dalamnya mahar untuk para pengurus dan ketua umum partai.
Seorang calon dapat terhindar dari uang mahar, bila popularitasnya sangat kuat dan partai tidak mempunyai kader yang bisa menandingi popularitas dan elektabilitasnya. Namun tetap saja tidak gratis, karena mesin partai harus digerakkan.
Untuk kandidat yang mencoba jalur perorangan/independen, bukan berarti dana yang harus dikeluarkan lebih murah. Perlu dana besar, waktu dan kerja keras. Mulai dari pengumpulan tanda tangan untuk memenuhi persyaratan agar dapat maju, sampai membangun infrastruktur pemenangan. Karena itu, meski secara undang-undang dimungkinkan, sangat jarang kandidat yang menempuh jalur ini.
Ahok adalah sebuah kasus yang menarik. Setelah hengkang dari Gerindra, dia mencoba peruntungannya melalui jalur perseorangan dengan membentuk Teman Ahok dengan target memperoleh satu juta tanda tangan. Jangan percaya mereka benar-benar mendanai kegiatannya secara swadaya. Investigasi Majalah Tempo menunjukkan bahwa Teman Ahok memperoleh dana Rp 30 miliar dari taipan Aguan, bos perusahaan pengembang Agung Sedayu. Namun tudingan bahwa lembaga survei Cyrus Network memfasilitasi pemberian uang ke Teman Ahok dibantah dan Tempo diadukan ke Dewan Pers.
Mengklaim berhasil mengumpulkan hampir satu juta tanda tangan, tiba-tiba Teman Ahok ditinggalkan begitu saja. Ahok kemudian memilih maju melewati jalur partai. Benarkah partai-partai ini gratis menyediakan perahunya? Hanya mereka yang tahu. Berbagai isu yang berkembang bahwa para taipan menggelontorkan triliunan rupiah sebagai uang mahar Ahok ke partai-partai pendukung, sudah dibantah.
Informasi tentang adanya dana masuk ke partai sedikit terkuak, ketika dua kader Partai Golkar terlibat dalam keributan pasca Aksi 412 yang ditengarai sebagai upaya tandingan Aksi Bela Islam 212, di Monas. Keributan tersebut kabarnya karena pengerahan massa yang tidak sesuai dengan jumlah dana yang diterima.
Keterlibatan para pemodal besar dalam aksi yang mengusung tema kebhinekaan itu juga terendus dari kehadiran sejumlah taipan antara lain Murdaya Poo dan istrinya Hartati Murdaya. Mereka berselfie ria bersama para petinggi partai pendukung Ahok/Jokowi sambil mengacungkan salam dua jari, nomor Ahok dalam pilkada. Pada aksi itu para karyawan Group Artha Graha milik pengusaha Tomy Winata juga dikerahkan, bahkan mereka membawa spanduk dengan nama perusahaan.
Biaya relawan. Jika sempat berkeliling ke sudut-sudut Jakarta kita bisa menemukan banyak posko-posko pemenangan baik yang dikelola oleh partai pendukung maupun relawan. Semua itu memerlukan dana yang besar. Mulai dari kesekretariatan, konsumsi, transportasi, pengerahan massa, termasuk ketika mereka melakukan aksi kampanye door to door, atau sering juga disebut direct selling.
Ada memang partai yang kadernya sangat militan seperti PKS yang relawannya bersedia mengeluarkan dana dari kantong pribadi. Dalam batas-batas tertentu kader PDIP juga cukup militan. Pada Pilkada DKI, Ketua Umum Megawati bahkan sampai harus menginstruksikan para anggota DPR RI, DPRD DKI dan para bupati/walikota di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat terjun langsung dan menyediakan dana dari kantong sendiri.
Bedanya antara PKS dengan PDIP, yang satu kadernya bertindak dengan sukarela karena termotivasi semangat dakwah dan jihad. Sementara yang lainnya karena mendapat ancaman dari Megawati. Fungsionaris PDIP Eva Sundari mengatakan mereka akan dihukum jika sampai Ahok kalah. Wajarlah bila mereka berjibaku menempuh segala cara melaksanakan titah Sang Ketua Umum.
Kampanye dan pengerahan massa. Biaya komponen ini adalah yang terbesar meliputi iklan televisi, radio, media cetak dan online, media luar ruang serta pengerahan massa dalam kampanye terbuka.
Kampanye melalui televisi biasanya merupakan komponen biaya terbesar. Namun, seiring dengan kehadiran media sosial, biaya kampanye televisi bisa dikurangi. Khusus untuk Jakarta karena terpaan media massa dan wilayahnya secara geografis bisa dijangkau, kampanye melalui televisi juga tidak terlalu dibutuhkan. Namun untuk wilayah yang sangat luas dan penetrasi media terbatas, maka televisi yang jangkauannya luas, sangat diperlukan. Sebutlah seperti Jawa Barat yang mempunyai 27 kota/kabupaten dengan wilayah luas dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Pengerahan massa juga membutuhkan biaya yang besar, mulai dari persiapan acara, logistik berupa makanan, kaos dan atribut kampanye, sampai keperluan transportasi. Semuanya cukup menguras kantong.
Tim media sosial. Komponen ini relatif baru seiiring merebaknya media sosial. Perang media sosial mulai terasa panas ketika Jokowi berlaga melawan Foke dalam Pilkada DKI 2012, dan kemudian puncaknya terjadi pada Pilpres 2014 lalu saat Jokowi Vs Prabowo.
Kehadiran mereka sangat terasa di dunia maya dan media-media online. Perang di berbagai platform media sosial sangat terasa. Tim media sosial atau cyber army Jokowi terasa sangat dominan karena mereka lebih terorganisir. Mereka inilah yang pada pilpres lalu dijuluki sebagai pasukan nasi bungkus (panasbung). Pasukan bayaran yang bersedia mem-bully dan mengahajar lawannya tanpa kenal ampun hanya dengan bayaran nasi bungkus.
Kiprah mereka dilanjutkan pada pilkada kali ini dengan membela Ahok mati-matian. Namun, dengan hadirnya pasukan cyber di kalangan umat Islam yang sering disebut mega muslim cyber army, membuat mereka menjadi kocar-kacir. Dalam polling di berbagai media usai debat terakhir terlihat betapa mega muslim cyber army sangat dominan dan perkasa.
Begitu juga dalam urusan money politics yang sangat massif dalam hari tenang. Jasa muslim cyber army sangat luar biasa dalam mem-viralkan berbagai aksi bagi-bagi sembako oleh para pendukung Ahok-Djarot.
Jangan salah, tim media sosial ini bukan pekerjaan iseng. Mereka dikelola oleh lembaga-lembaga profesional. Para bos pasukan media sosial ini setelah Jokowi terpilih menjadi presiden, mendapat kompensasi yang setimpal. Banyak diantaranya yang menikmati lezatnya kue kekuasaan dengan menjadi komisaris di sejumlah BUMN.
Biaya saksi dan pengamanan suara. Komponen ini sangat penting. Berapa besar jumlah yang harus dikeluarkan relatif bisa diprediksi. Jumlah TPS di Jakarta pada putaran pertama sebanyak 13.023. Biasanya setiap TPS dijaga minimal oleh dua orang saksi dan bila mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Partai Nasdem, masing-masing saksi mendapat uang lelah Rp 150 ribu. Karena Pilkada Jakarta kali ini pertarungannya cukup sengit. Pasangan Anies-Sandi menyatakan akan mengerahkan saksi di luar maupun di dalam TPS sebanyak 30-50 orang saksi.
Dalam situasi normal dana yang yang akan dikeluarkan oleh masing-masing pasangan sebesar Rp 3.9 miliar . Perhitungan itu diperoleh dari 13.023 TPS x 2 saksi x Rp 150.000 = Rp 3.906.900.000. Pada putaran kedua jumlah TPS bertambah 11 menjadi 13.034 titik. Jadi setidaknya untuk dua putaran diperlukan dana sebesar Rp 7.8 miliar.
Bila jumlah saksi dilipatkan menjadi 30 atau bahkan 50 orang, maka jumlahnya akan membengkak menjadi Rp 117-Rp 195 miliar. Itu baru biaya saksi. Belum lagi jika diperhitungkan konsumsi dan pengamanan suara sampai rekapitulasi akhir yang diperkirakan akan selesai pada tanggal 1 Mei, maka dananya bisa mencapai Rp 300-Rp500 miliar. Jadi silakan mulai menghitung-hitung berapa biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing paslon. Karena itu sudah hampir dapat dipastikan, laporan dana kampanye ke KPU ini tak bisa menjadi pegangan.
Dengan dana yang begitu besar agak sulit dihindari para kandidat tidak menerima dana dari kalangan pengusaha. Sebagai seorang pebisnis, tentu saja para pengusaha tidak mungkin mengeluarkan dana besar tanpa imbal balik yang besar pula. “Beternak” penguasa adalah salahsatu cara melipatgandakan kekayaan mereka.
Pemilihan langsung seperti di Indonesia memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Itu menjelaskan mengapa banyak bupati, walikota, dan gubernur yang terjerat korupsi untuk membiayai pencalonan mereka. Sampai Februari 2015, Depdagri mencatat ada 343 orang kepala daerah yang terjerat kasus hukum. Mayoritas atau malah hampir semuanya terjerat korupsi.
Banyak yang menyebut dunia politik SANGAT KOTOR, tapi sekaligus SANGAT MULIA. Tergantung bagaimana anda menyikapinya. Jika niatnya mengabdi untuk kepentingan rakyat, pasti jalan yang ditempuh adalah dengan cara-cara yang baik dan bersih. Sebaliknya bila targetnya hanya untuk kekuasaan itu sendiri, maka alih-alih mengabdi kepada rakyat, tapi malah mengabdi kepada para pengusaha dan pemodal besar.
HARTA DAN KEKUASAAN BILA BERADA DI TANGAN ORANG YANG BAIK DAN SALEH, AKAN MEMPRODUKSI KEBAIKAN PULA. KARENA ITU ORANG-ORANG YANG BAIK DAN SALEH HARUS DIDORONG MENJADI ORANG-ORANG YANG BERHARTA DAN BERKUASA. MEREKA HARUS DIDUKUNG! ***
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik.
Advertisement