TVRI, Bertahan pada Nostalgia
Bagi generasi yang lahir sebelum tahun 1989, meski samar-samar, mungkin masih ingat ragam acara seperti; Aneka Ria Safari, Si Unyil, Dunia Dalam Berita, Mana Suka Siaran Niaga, Kelompok Pendengar Pembaca dan Pemirsa (Klompencapir), hingga film Little House on the Prairie.
Ragam acara tersebut ditayangkan di Televisi Republik Indonesia (TVRI). Satu-satunya stasiun televisi yang mengudara pada masa itu.
Selain TVRI, ada siaran dari TV luar negeri. Dapat diakses lewat parabola. Namun, mayoritas rakyat tidak punya akses memasang parabola. Sebagian bahkan tak mampu beli pesawat TV. Di banyak tempat, satu pesawat TV ditonton ramai-ramai warga satu kampung.
Sebagaimana karakter rejim otoriter, monolitik dan hegemonik, pemerintah Orba mengontrol semua aspek kehidupan rakyat. Termasuk menguasai dan mengontrol arus informasi serta media komunikasi. Bagian dari upaya menguatkan kekuasaan Orba yang hegemonik.
Media komunikasi non audio visual, seperti surat kabar masih boleh beragam. Namun jika dianggap vokal, pemerintah melalui departemen penerangan (Deppen) tak segan mencabut Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Tamat sudah riwayat sebuah koran jika sampai SIUP dicabut. Istilah lainnya, dibreidel! Jika surat kabar masih ada kelonggaran, media komunikasi audio visual hanya boleh ada satu dan sepenuhnya dalam kendali pemerintah.
Merujuk berbagai literatur, gagasan pendirian stasiun televisi berasal dari Bung Karno sebagai bagian dari persiapan Asian Games IV di Jakarta. Saat itu, Bung Karno berupaya keras menempatkan Indonesia sebagai kekuatan yang diperhitungkan dunia.
Salah satu caranya, menjadi tuan rumah Asian Games IV. Sebagaimana dituturkan Bung Karno dalam, “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi jiwa yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan, juga penting.
Stasiun TV digunakan untuk memberitakan event tersebut pada rakyat dan dunia. Bung Karno yang gandrung pada persatuan juga berharap, keberadaan stasiun TV menjadi instrumen menguatkan persatuan nasional. Persiapan pendirian dilakukan sejak 1961.
Secara resmi, TVRI berdiri pada 24 Agustus 1962 berdasarkan SK Menpen RI No.20/SK/VII/61. Siaran percobaan pada 17 Agustus 1962. Siaran perdana format hitam putih mengudara pada 24 Agustus 1962 bersamaan pembukaan Asian Games IV.
Pada masa Orba, TVRI menjadi corong penguasa yang efektif. Sebagaimana dikutip dari tvri.go,id, TVRI tidak memiliki independensi dalam kebijakan "editorial policy" dan menjadi media tunggal penyiaran televisi pemerintah.
Tentu masih ingat, setiap selesai rapat kabinet, Mensesneg Moerdiono dengan tutur kata yang lamban menyampaikan hasilnya melalui TVRI. Selepas Moerdiono, nama yang melegenda adalah Menteri Penerangan Harmoko. Setiap kali memaparkan hasil sidang kabinet selalu diawali dengan kalimat, "atas petunjuk bapak presiden".
Kondisi itu menyebabkan menurunnya semangat kerja, kreativitas dan produktivitas karyawan. Disisi lain, tuntutan zaman, perkembangan teknologi dan arus desakan global, tidak terbendung lagi.
Monopoli siaran TVRI berakhir pada 1989. Saat itu, pemerintah memberi ijin kehadiran satu stasiun televisi swasta. Selain mengakomodasi tuntutan jaman, ada keluarga Cendana dibalik stasiun TV swasta tersebut. Setelah itu, muncul beragam staisun TV swasta yang memberi banyak pilihan masyarakat. Siaran TVRI pun perlahan ditinggalkan.
Secara kelembagaan, terjadi beberapakali perubahan. Pada awalnya berbentuk yayasan berdasarkan Keputusan Presiden No: 215 Tahun 1963 tentang Pembentukan Yayasan TVRI. Pasca reformasi, berubah menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Deppen.
Kemudian berubah jadi perusahaan jawatan (Perjan) pada 2000. Dua tahun setelah itu berubah menjadi perusahaan perseroan (Persero). Akhirnya, pada 2005 menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP).
Tahun ini, 24 Agustus, TVRI genap berusia 59 tahun. Apakah perubahan yang dilakukan TVRI itu mampu merespon tantangan jaman dan kebutuhan publik? Tahun depan, pemerintah mencanangkan "analog switch off (ASO)". Migrasi penyiraran dari TV analog ke digital.
Namun semua upaya itu tetap susah membuat TVRI menjadi pilihan pemirsa. Kemajuan teknologi komunikasi mengubah “habit” masyarakat dalam mengkonsumsi informasi. Tantangan ini juga dihadapi stasiun TV swasta. Merekapun terengah-engah menghadapi gelombang perubahan ini.
Saat ini, sebagian besar generasi kekinian tidak lagi mengakses siaran TV. Mereka memilih menikmati situs internet seperti youtube, netflix dan ragam channel lainnya. Kita punya kebebasan dalam mengakses informasi dan ragam acara yang dibutuhkan.
Tidak lagi "dipaksa" mengikuti acara yang sudah diformat oleh stasiun televisi. Keberadaan "smart TV" membantu mengakses internet lewat pesawat TV, bagi yang tidak nyaman dengan laptop atau handphone.
Dengan realitas seperti itu, bagaimana masa depan TVRI? Selama ada subsidi pemerintah, keberadaan LPP TVRI tentu masih akan bertahan. Namun, cukup puaskah hanya sampai disitu? Meski dengan terengah-engah juga, saya tetap mengucapkan, Dirgahayu TVRI!
Oleh Ichwan Arifin, Alumnus Pascasarjana UNDIP Semarang, Wakil Ketua DPD PA GMNI Jawa Timur.