Turki Ancam Serang Israel jika Tak Berhenti Gempur Gaza, Dibalas Ancaman Diusir dari NATO
Israel dan Turki saling menebar ancaman, merespons konflik dengan Gaza. Israel mengancam Turki dikeluarkan dari NATO, sedangkan Turki ancam invasi militer ke Israel.
Ancaman Turki
Perang mulut antara Israel dan Turki dimulai dari pernyataan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, pada Minggu 28 Juli 2024. Dalam pidatonya, Erdogan mengancam akan melakukan tindakan berupa intervensi militer pada Israel, lantaran serangan ke Gaza yang tak segera berhenti.
"Kita harus lebih kuat, sehingga Israel tak bisa melakukan hal yang konyol ke Palestina. Seperti ketika kita masuk ke Karabakh, Libya, kita bisa lakukan hal yang sama ke Israel," kata Erdogan dalam pidatonya, Minggu 28 Juli 2024, dikutip dari Al Jazeera.
Diketahui, Turki mengirim pasukan untuk membantu pemerintahan Libia di bawah kendali PM Abdul Hamid Dbeibah, tahun 2020. Tentara Turki bertugas membantu kerja PBB di wilayah tersebut.
Sedangkan di konflik Nagorno-Karabakh, dalam konflik antara Azerbaijan dan Armenia, Turki menjanjikan dukungan dalam bentuk apapun pada Azerbaijan.
Turki yang berencana menghentikan perdagangan dengan Israel di tahun ini, bila serangan terus berlangsung dan bantuan kemanusiaan tidak segera diberi akses masuk.
Balasan Israel
Ancaman terbaru Turki dibalas dengan seruan mengeluarkan Turki dari NATO. Hal itu dilontarkan Menteri Luar Negeri Israel, Katz. "Mendorong segera anggota NATO, untuk mengecam Turki dan meminta agar mengeluarkan Turki dari aliansi," katanya dikutip dari Reuters.
Sebelumnya Katz juga mengancam Turki agar berhati-hati dalam melangkah. Katz mengingatkan Erdogan tentang hal buruk yang terjadi pada Saddam Hussein. Pimpinan Irak yang digulingkan lewat invasi yang melibatkan Amerika Serikat.
"Erdogan mengikuti jejak Saddam Hussein dan mengancam akan menyerang Israel. Dia harus ingat apa yang terjadi saat itu dan bagaimana akhirnya," katanya.
Diketahui, sedikitnya 39 ribu jiwa melayang akibat serangan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023. Sedikitnya 80 ribu orang mengalami cedera. Serangan Sebagian besar menewaskan penduduk sipil, termasuk anak-anak dan perempuan.