Tuntut Saham Jawa Pos, Cak Amu ke Jakarta Naik Sepeda
“Doakan perjuangan saya berhasil,” kata Abdul Muis (60 tahun), mantan wartawan Jawa Pos. “Mumpung masih suasana peringatan Hari Pahlawan, saya juga berjuang. Saya akan ke Jakarta naik sepeda. Menemui beberapa pemilik saham Jawa Pos seperti Mas Goenawan Mohamad dan Ibu Erick Samola, Saya akan tanyakan bagaimana nasib saham milik seluruh karyawan, mengapa sampai sekarang kok belum dibagikan,” kata wartawan senior yang dulu ikut membesarkan Jawa Pos ini, hari Sabtu lalu, di Jl. Tugu Pahlawan, persis di depan Kantor Gubernur.
Rabu kemarin, Amu, panggilan akrabnya karena saat bekerja di JP dulu tulisan-tulisannya memakai kode Amu, singkatan namanya, Abdul Muis, sudah sampai Indramayu. “Kamis sore saya perkirakan sudah masuk Jakarta. Saya berdoa mudah-mudahan para pemilik saham JP hatinya dibuka oleh Allah. Mudah-mudahan mereka sadar bahwa mereka masih memegang hak-hak yang seharusnya menjadi milik seluruh karyawan JP. Mereka sudah sepuh, makin dekat dengan ajal, jangan sampai mereka meninggal dengan membawa hak para karyawan yang ikut membesarkan JP. Sebenarnya yang bekerja membesarkan koran itu adalah kami, para karyawan, bukan mereka,” kata Amu, yang mulai bekerja di JP tahun 1984, dua tahun setelah PT Grafiti Press sebagai penerbit majalah Tempo mengakuisisi koran tua yang terbit di Surabaya, Djawa Pos.
Sabtu pagi pekan lalu, pukul 6.15, Amu, diiringi 12 anggota komunitas pesepeda GeSS mulai mengayuh pedalnya, start dari depan Kantor Gubernur Jatim di timur Tugu Pahlawan. Bendera start dikibaskan oleh wartawan senior Slamet Oerip Prihadi. Suhu, panggilan akrab Slamet Oerip, bersama Dahlan Iskan dan almarhum Dharma Dewangga, adalah tiga orang wartawan majalah Tempo biro Surabaya yang oleh pengelola baru ditempatkan di Jawa Pos. Kemudian dilakukan rekrutman pada akhir tahun 1982, yang pada perkembangannya menghasilkan beberapa wartawan dengan nama besar sebagai rekrutan gelombang pertama, disusul rekrutman gelombang kedua pada tahun 1984, dimana Cak Amu termasuk di dalamnya. Di bawah kepimpinan Dahlan Iskan dan tim barunya, Jawa Pos berkembang pesat dan akhirnya menjadi sebagai media di Indonesia. Beranak pinak, menerbitkan koran dan majalah apa saja dan di mana saja, termasuk tahun 2010 menerbitkan Jawa Pos di Jeddah, Arab Saudi, yang dipimpin oleh Cak Amu.
Sesuai dengan Undang-undang No. 40/tahun 1999 Tentang Pers, pada Pasal 10 disebutkan Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. Pada Undang-undang sebelumnya, besarnya saham untuk karyawan ditetapkan sebesar 20 persen. Saham inilah yang kini sedang diupayakan oleh seluruh karyawan JP untuk bisa cair.
Jawa Pos, yang pernah menyatakan diri sebagai koran terbesar di Indonesia, sekarang sedang tidak baik-baik saja. Antara tahun 2016-2017, terjadi perseteruan internal antar pemegang saham. Buntutnya Dahlan Iskan dan putranya, Azrul Ananda terdepak, meskipun masih tercatat sebagai pemilik saham. Persoalan internal yang muncul, dibarengi dengan perkembangan teknologi digital yang menyebabkan bisnis media cetak bertumbangan, ikut menjadikan Jawa Pos seperti gajah yang tertidur. Hingga tahun 2010, tak pernah ada yang memperkirakan nasib Jawa Pos akan demikian.
“Pada tahun 2001 diadakan RUPS, keputusannya antara lain 20 persen saham untuk karyawan. Keputusan lainnya, Dahlan Iskan diinstruksikan untuk membubarkan yayasan karyawan lama, dan membentuk yayasan baru. Kepada baru yayasan inilah, yang kemudian dinamakan Yayasan Pena Jepe Sejahtera, diserahkan devidennya yang ketika itu diperkirakan senilai Rp 160 milyar. Sedang saham yang 20 persen di perusahaan tetap milik karyawan. Ketika itu, tahun 2001, diperkirakan nilai 20 persen saham untuk karyawan antara Rp. 1,5 sampai Rp 2 trilyun,” kata Slamet Oerip Prihadi, ketua yayasan.
Ada 8 orang pemilik saham Jawa Pos dan guritanya, antara lain Dahlan Iskan, Goenawan Mohamad, Fikri Jufry, Ibu Eric Samola, Ratna Dewi alias Wheny (mewakili pengelola Djawa Pos lama), Lukman Setiawan, Haryoko Trisnadi dan PT Grafiti. Sementara jumlah mantan karyawan yang tercatat sekitar 400 orang, sekitar 260 masih hidup dan 140 sudah almarhum. Slamet Oerip sendiri tahun 2000 sudah pensiun, tetapi tenaganya masih diperlukan hingga 2006.
Hari ini, Kamis siang Cak Amu masuk ke Kota Jakarta dengan selamat, diiringi beberapa anggota komunitas pesepeda dari Bekasi, Tangerang dan Jakarta. Selamat berjuang. (anis)
Advertisement