Tuna Rasa Baby Lobster
Oleh: Oki Lukito
Minggu lalu saya diundang Ratmo, Nelayan Tamperan Pacitan. Cukup lama tidak bertemu sejak pandemi Covid-19 merebak tiga tahun lalu. "Kemarin seratus hari mendiang ibu saya pak. Di rumah masih banyak tamu. Kita ketemu di warung biasanya di sekitar tepei," ajaknya.
Di warung makan sudah tersaji potongan ikan tuna cukup besar. Ada sayur kuning kepala tuna, tuna bakar dan tuna goreng, sambal pencit, nasi tiwul lengkap dengan lalapan sayur basah diantaranya kembang turi dan kecipir. "Kemarin saya beli tuna sekitar tujuh puluh kilo beratnya untuk kepentingan di rumah," ucapnya ringan sambil mengisap rokok kretek kegemarannya.
Menurutnya, sudah dua bulan ini tidak ada ikan di Tempat Pelelangan, nelayan dari Pekalongan, Tegal dan Sinjai Sulsel yang biasa mendaratkan ikan di Pacitan pulang kampung seperti musim barat pada umumnya. "Saya beli tuna di gudang penyimpanan depan itu, harga pertemanan, dua setengah juta", tuturnya ringan. Pasaran Tuna sirip kuning di Pelabuhan Ikan Tamperan bekisar Rp 50-52 ribu per kilogram. “ Di Pacitan selain tuna yang harganya paling mahal sekarang ada saingannya, benur.” Guraunya sambil tertawa renyah.
Bagi Ratmo dan teman nelayan benur lainnya di Pacitan sejak regulasi aturan main Benih Bening Lobster (BBL) setiap hari ‘berenang’ uang. Sehari dapat 1 juta rupiah bukan hal yang sulit. Untuk 70 ekor benur seukuran lalat harganya Rp 420 ribu. " Itu pak kapal saya ada enam semua dimanfaatkan untuk menangkap benur," ujarnya sambil menunjuk ke arah kolam labuh khusus perahu penangkap benur di Pelabuhan Perikanan Tamperan milik Pemprov Jatim. Perahunya mirip sampan besar, panjang 5 meter dan lebar 2 meter lengkap dengan mesin genset dan lampu gantung. Sinarnya menjadi daya tarik BBL untuk menempel di jaring khusus di sisi kapal yang terbuat dari serabut kelapa atau kain rajutan kasar mirip pengepel lantai.
Walaupun dilarang diperjual belikan dan diekspor sejak setahun lalu, BBL terbukti membawa berkah masyarakat pesisir yang masih diberi kebebasan menangkap. "Harganya stabil enam ribu per ekor untuk jenis pasir, sedangkan mutiara dihargai sepuluh ribu oleh pengepul," tambah Ratmo sambil menyeruput kopi pahit ramuan kegemarannya. Setiap malam lanjutnya, ratusan nelayan benur melaut tidak jauh dari Teluk Pacitan dan sekitarnya. “Rata rata per perahu mendapat minimal lima puluh ekor, bahkan ada yang lebih dari seratus ekor jenis pasir sedangkan jenis mutiara jumlahnya sedikit,” ungkapnya.
Ratmo bukan satu satunya nelayan Pacitan yang mendapat berkah BBL dan dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya sejak adanya larangan ekspor. Seperti halnya nelayan umumnya, Ratmo pernah menjadi buruh nelayan ikut juragan kapal, penghasilannya tidak lebih dari Rp 100 ribu per malam. Sebagai nelayan oneday fishing, Ratmo rata rata hanya melaut sekitar 180 hari dalam setahun.
Paceklik iklan terjadi saat musim angin barat antara bulan April hingga Oktober dan dia harus kerja serabutan atau menjadi buruh kasar untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari hari. Begitu pula dengan kapal kapal ikan sejak adanya peraturan baru Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikenakan sebelum dan sesudah melaut banyak yang mengurangi aktivitasnya melaut karena membengkaknya biaya operasional. “Susahnya lagi jika tidak dapat ikan atau jumlahnya sedikit,” tutur Ratmo seraya menambahkan sumber daya ikan di wilayah Pacitan semakin menyusut jumlahnya dari bukti hasil tangkapan.
Di kabupaten yang kaya ikan layur dan memiliki daya tarik obyek wisata bahari itu, menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur tercatat 23 kelompok nelayan BBL beranggotakan 1035 orang serta mengantongi ijin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Di Jawa Timur setidaknya terdapat enam ribu nelayan penangkap BBL memiliki ijin resmi dari pemerintah.
Disejahterakan Benur
Jika dikalkulasi kasar per nelayan menangkap 75 ekor per hari berarti ada sekitar 450 ribu BBL ditangkap nelayan di sepanjang pesisir pantai selatan mulai dari Banyuwangi (Grajagan, Pancer), Jember (Puger Selatan, Watu Ulo sekitarnya), Tulungagung (Popoh, Sinai), Trenggalek (Prigi, Munjungan, Tasikmadu), Pacitan (Tamperan, Lorok, Tulakan). Lalu kemana larinya ratusan ribu BBL tersebut ? padahal pembudidaya lobster di Jawa Timur sangat terbatas jumlahnya dan bisa dihitung jari. Jadi tidak mungkin kalau semua benih lobster itu untuk dibudidayakan atau untuk kepentingan riset. Di Jawa Timur lokasi riset perikanan hanya ada di Situbondo.
Seperti diketahui larangan ekspor BBL dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah NKRI. Akan tetapi penangkapan anakan lobster diperbolehkan untuk nelayan, namun hanya untuk pengembang biakan (budidaya) hingga ukuran layak konsumsi.
Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur menyebutkan, Nilai Tukar Nelayan (NTN) Jawa Timur bulan April 2022 naik 1,33 persen dari 103,32 di bulan Maret 2022 menjadi 104,70 di bulan April 2022. Dalam Berita Resmi Statistik Jawa Timur menerangkan, Perkembangan NTN bulan April 2022 terhadap Desember 2021 (tahun kalender) naik sebesar 2,03 persen. Adapun perkembangan NTN bulan April 2022 terhadap April 2021 (year on year ) naik sebesar 6,16 persen.
Dari enam provinsi di Pulau Jawa yang melakukan penghitungan NTN pada bulan April 2022, dua provinsi mengalami kenaikan NTN, dan empat provinsi mengalami penurunan NTN. Provinsi Jawa Timur naik sebesar 1,33 persen, dan Provinsi Banten naik 0,54 persen. Perlu di garisbawahi bahwa Jawa Timur dan Banten termasuk derah potensi dan penghasil BBL terbesar di Jawa. BBL sudah membuktikan salah satu factor yang mentriger daya beli nelayan di tengah terpuruknya perikanan tangkap karena berbagai pungutan berkedok PNBP serta menyusutnya Sumber Daya Ikan.
Kuncinya pemerintah harus mampu membuat pembenihan lobster (hatchery) untuk backup dibukanya kembali keran ekspor BBL. Negara Ini mempunyai banyak sekali sarjana perikanan, doktor bidang perikanan bahkan ratusan professor perikanan dan riset pembenihan lobster amat sangat dibutuhkan agar kita tidak tergantung hasil tangkapan alam.
*Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan, Dewan Pakar PWI Jawa Timur
Advertisement