Tumpang Tindih PNBP Ruang Laut
Oleh: Oki Lukito
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akhirnya merevisi aturan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pemanfaatan Ruang Laut, setelah muncul banyak keluhan dari pegusaha yang beraktivitas di peraiaran pesisir. Sebelumnya Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) gerah dengan banyaknya keluhan Kontraktor Kontrak Kerjasama Minyak dan Gas (K3S), atas besaran kewajiban pembayaran PNBP Pemanfaatan Ruang Laut. Keresahan K3S tersebut jika tidak diantisipasi dipastikan akan mendistorsi investasi di sektor Migas. Keluhan serupa juga muncul dari pengusaha Galangan Kapal dan Bangunan Lepas Pantai yang tergabung dalam IPERINDO.
Persoalan lain yang mencuat yaitu adanya tumpang tindih pembayaran PNBP antar kementerian. Contoh, Pelabuhan Maspion Grup di Gresik sempat menolak membayar PNBP Pemanfaatan Ruang Laut karena sudah membayar PNBP melalui Kementerian Perhubungan antara lain, sewa peraiaran. Banyaknya keluhan tersebut dijadikan pemicu agar KKP instropeksi dan mengevaluasi kinerjanya, utamanya dalam proses pemberian Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) implementasi dari Undang Undang Cipta Kerja yang ditujukan untuk kegiatan berusaha atau non Berusaha. Seperti yang terjadi di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Sebuah perusahaan Galangan Kapal yang telah melakukan reklamasi tanpa izin dan menebang kawasan hutan mangrove secara illegal diberi izin PKKPRL.
Informasi dari SKK Migas Jawa, Bali dan Nusatenggara (Jabanusa) untuk meredam keresahan K3S atas pengenaan tarip PNBP, Menteri Energi dan Suber Daya Mineral turun tangan, meminta KKP mengenakan tarip nol rupiah untuk pemanfaatan ruang laut kegiatan hulu Migas. Pengenaan PNBP PKKPRL dianggap menghambat peningkatan investasi dan kelancaran operasi hulu migas, kewajiban tersebut tidak diatur dalam Production Sharing Contract Agreement (PSC) dan juga tidak sesuai dengan semangat penyederhaan perizinan. PSC merupakan metode perjanjian bisnis migas dalam rangka memperbesar pendapatan negara dari sumber daya alam serta menarik investor menanamkan modalnya.
Salah satu contoh risiko penurunan minat investasi migas terkait dengan pengenaan PNBP khususnya di wilayah offshore, seperti yang terjadi di WK Offshore Mangkalihat Operator Conrad Petroleum OM PTE. LTD. Perusahaan tersebut memiliki potensi sumberdaya terambil Labu 1 dengan cadangan minyak 18.8 Million Barrels of Oil Equivalent (MMBO) plus gas 196.9 Billion Cubic Feet Gas (BCFG). Perusahaan minyak Singapura itu memiliki 100% kepemilikan operasi di Offshore Mangkalihat PSC (OM PSC) melalui anak perusahaannya, Conrad Petroleum OM Pte Ltd.
Menurut berbagai informasi, OM PSC merupakan KKS eksplorasi seluas 1.650 kilometer persegi yang terletak di lepas pantai pada kedalaman perairan dangkal 2 – 100 meter di Cekungan Tarakan, timur laut Kalimantan. Mengelola area 1.650 Km2 atau sekitar 165 ribu hektar, jika sesuai ketentuan PKKPRL per hektar Rp 18,6 juta (aturan baru tidak sama rata) maka perusahaan tersebut wajib membayar PNBP sebesar Rp 3 triliun. Konon yang bersangkutan akan mundur dari eksploitasi di Cekungan Tarakan. Selian itu setidaknya terdapat 9 KKKS Eksploitasi lainnya yang berpotensi mengeluarkan tambahan biaya sebesar Rp.118 Milyar/ US$8.2 billion pada tahun 2022 untuk mendapatkan persetujuan KKPRL sebagai persyaratan dasar perizinan berusaha pemanfaatan ruang di laut.
Keluhan lain yang muncul yaitu potensi tertundanya persetujuan Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) karena PKKPRL harus terbit terlebih dahulu sebelum persetujuan Amdal. Biaya pembuatan Amda Offshore diprediksi lebih dari Rp 1 miliar karena parameternya lebih kompleks. Sebagai perbandingan untuk industri di wilayah darat biaya Amdal mencapai Rp 750 juta. Demikian pula verifikasi dokumen KKPRL sering melebihi waktu (lebih dari 14 hari sejak pemohonan).
Terbitnya Persetujuan KKPRL setelah pembayaran PNBP melebihi tata waktu (lebih dari 6 hari kerja). Contohnya, belum terbitnya PKKPRL ENI Muara Bakau terhitung kurang lebih 25 hari sejak tanggal bayar. ENI Muara Bakau merupakan perusahaan milik pemerintah Italia terbesar, dan mulai beroperasi di Indonesia sejak 2000. Aktivitas produksinya dikonsentrasikan di Pulau Kalimantan di Blok Sanga-Sanga PSC.
ENI memiliki participating interest di delapan lokasi di dua cekungan minyak Kutai dan Tarakan. Persoalan lain yang mencuat dlam proses pengurusan PKKPRL yaitu adanya kewajiban pembayaran PNPB PKKPRL sebelum persetujuan lingkungan diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain dapat menambah jangka waktu perizinan dan biaya operasi, juga dirasa akan memberikan keterbatasan ruang gerak pencarian cadangan migas di laut.
Di satu sisi industri galangan kapal juga mengeluh bahwa aturan baru dari Kementerian Kelautan ini menimbulkan biaya tinggi padahal mereka sudah beropersi. Selain harus membayar PNBP sebesar Rp. 18,6 juta per hektar untuk mendapatkan PKKPRL, biaya lain yang harus dikeluarkan untuk izin lingkungan, izin reklamasi, izin navigasi bagi perusahaan yang area usahanya di laut (reklamasi).
Di kawasan tertentu seperti di Jawa Timur sisi Selat Madura dan sebagian Laut Jawa, misalnya selain PKKPRL, perusahaan Galangan Kapal harus melengkapi rekomendasi instansi pertahanan menyangkut kemanan alur pelayaran serta rekomendasi dari Kementerian Perhubungan (Hubla) terkait Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKp) dan Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan (DLKr) serta Kawasan Induk Pelabuhan (KIP). Biaya lain yang harus dikeluarkan perusahaan Galangan Kapal yaitu sewa perairan dan Dinas Navigasi Kementerian Perhubungan untuk memasang lampu suar yang merupakan persyaratan dari terminal khusus (Tersus) sesuai dengan keputusan Dirjen Hubla tahun 2022.
Pendelegasian Kewenangan
Seperti diketahui realisasi PNBP subsektor Pengelolaan Ruang Laut Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP tahun 2022 mencapai 335.9 miliar, 316 miliar diantaranya bersumber dari PKKPRL. Sejak diberlakukannya aturan baru tersebut kenaikan PNBP di sektor pemanfaatan ruang laut naik signifikan mencapai 600 persen lebih. Total PNB sektor KKP tahun 2022 mencapai Rp 1,79 triliun.
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam pengurusan PKKPRL, selama ini semua urusan PKKPRL menumpuk di KKP dan terjadi kelambatan untuk merealisasikannya. Urusan di atas 12 mil laut maupun permohonan PKKPRL di bawah 12 mi laut yang seharusnya ditangani pemerintah provinsi ditangani KKP. Perlu dicatat Undang Undang (UU) No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 27 Ayat (3) menyebutkan kewenangan pengelolaan laut daerah provinsi di atur paling jauh 12 mil dari garis pantai.
Selain tidak adanya pendelegasian kewenangan yang membuat proses menjadi lama, persiapan dokumen sampai verifikasi teknis juga mengalami revisi dan membutuhkan data tambahan. Ini juga disebabkan oleh ketidaktahuan pemohon terkait kebutuhan persyaratan yang dibutuhkan untuk pengajuan PKKPRL. Lemahnya sosialisai dan semua urusan terkonsentrasi atau menumpuk di pusat menimbulkan permasalahan khususnya ketetapan waktu . Hal tersebut tidak terjadi jika ada pendelegasian kewenangan sesuai dengan UU 23 tahun 2014, jadi tidak sekedar mengejar PNBP semata sebagai tolok ukur keberhasilan institusi.
* Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan dan Dewan Pakar PWI Jawa Timur
Advertisement