Tumbuhkan Kesadaran Kebangsaan, Ini Peran Historis Muhammadiyah
Pengamat sosial Muhammad Yuanda Zara menegaskan, Sumpah Pemuda merupakan satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Dari ikrar Sumpah Pemuda pada awal abad ke-20 inilah, muncul kesadaran akan kebangsaan yang melampaui batas-batas ras, suku, golongan, dan agama. Para pemuda ketika itu berusaha mencari persamaan alih-alih perbedaan di antara mereka dan menunjukkan adanya ikrar tanah air, kebangsaan, dan kebahasaan.
“Yang pertama kita kenal dengan tumpah darah tanah yang satu yaitu Indonesia; yang kedua tentang kebangsaan yaitu bangsa Indonesia; dan yang terakhir bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia.
"Jadi, di sini ada tiga konsep yang sedang dibicarakan para pemuda di Kongres Pemuda tahun 1928, yakni berkenaan dengan tanah air, kebangsaan, dan kebahasaan,” kata Muhammad Yuanda Zara dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Yuanda menerangkan bahwa konteks pembuatan ikrar Sumpah Pemuda terjadi saat kawasan Hindia Belanda dikuasai sepenuhnya secara politis oleh kolonialisme.
Berbagai kebijakan pemerintah kolonial Belanda justru mengakibatkan kemiskinan dan penderitaan rakyat di nusantara. Hal inilah yang mendorong para pemuda untuk bergerak dan bersatu melawan penjajahan.
Sebelum adanya Sumpah Pemuda, kesadaran sebagai bangsa yang satu secara eksistensial juga ditunjukkan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Kekuatan-kekuatan organisasi ini, kata Yuanda, tidak bergerak secara konfrontatif dengan kolonial melainkan melalui jalur pendidikan dan politik.
“Kita bisa melihat arti penting dari organisasi terhadap kemunculan kesadaran Indonesia ini seperti Syarikat Dagang Islam, Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond dan lain-lain. Selain itu muncul organisasi politik tahun 1911. Kemudian muncul Muhammadiyah tahun 1912,” terangnya.
Yuanda menjelaskan bahwa kelahiran Muhammadiyah secara tidak langsung telah mendefinisikan teritori awal Indonesia. Awalnya Muhammadiyah yang hanya berbasis tempat di Jawa kemudian berekspansi ke berbagai daerah. Begitu Muhammadiyah tersebar ke wilayah luar Jawa, hal itu memberikan sebuah geografi yang lebih luas tentang tanah air.
“Jadi, orang-orang yang berada di sekitar Kauman atau Jogja, kemudian menyadari, bahwa mereka itu bisa ke tempat-tempat yang berada di luar kampung halamannya. Sesampainya Muhammadiyah di Sumatra kemudian gagasan tentang tanah air itu sudah meluas tidak hanya tentang Jawa tapi juga sampai Sumatra,” tutur Yuanda.
Peran Muhammadiyah dalam menumbuhkan kesadaran akan kebangsaan juga ditunjukkan dari aktivitas organisasi yang mengadakan pertemuan-pertemuan rutin seperti Kongres Muhammadiyah. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Muhammadiyah telah melakukan kongres di berbagai daerah seperti Surakarta, Surabaya, Minangkabau, dan lain-lain. Dengan adanya kongres yang bersifat nasional ini, bagi Yuanda menunjukkan satu pesan penting bahwa apa yang dilakukan Muhammadiyah secara tidak langsung berkenalan dengan tanah air mereka sendiri.
“Kalau dilihat dari Kongres Muhammadiyah, kita bisa melihat tentang bagaimana warga Muhammadiyah pada masa itu mengalami atau merasakan menjadi bagian dari tanah air dalam arti fisik yang sebenarnya. Bisa kita lihat ini dari penggunaan transportasi yang kemudian terjadi komunikasi antar budaya. Artinya Kongres Muhammadiyah itu membantu warga Muhammadiyah untuk memahami sebuah peta besar bernama Indonesia,” ujarnya.