Tumbak Cucukan
"Caci maki, menghina, mengadu domba, memfitnah, dan memviralkan berita bohong menjadi bagian tak terpisahkan darinya"
Ada salah satu watak jahat lagi destruktif yang oleh masyarakat Jawa dinamai tumbak cucukan yaitu manusia yang suka bikin ribut dan menyakiti perasaan orang lain dengan sengatan ucapannya yang penuh kebencian. Caci maki, menghina, mengadu domba, memfitnah, dan memviralkan berita bohong menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Karenanya, dia dilukiskan sebagai sosok yang hatinya berbulu sangat gatal, lidahnya menjulur berbisa, dan bibirnya ditumbuhi duri nan runcing.
Di setiap lingkungan yang ada sosok berwatak tumbak cucukan, bisa dipastikan tidak akan steril dari pertengkaran. Watak ini bisa melekat pada apa pun status manusia, entah sebagai tokoh agama, cendekiawan, pejabat, dan lainnya. Meski sedikit, namun mereka mampu mempengaruhi sebanyak-banyaknya orang dan memperkeruh suasana.
Tindak kejahatan tumbak cucukan melebihi apa yang dilakukan oleh lambe turah yang kesehariannya suka nyinyir, ghibah, hingga membuka aib seseorang. Jika ujaran lambe turah dapat merusak citra personal, maka tumbak cucukan tak segan berusaha membunuh eksistensi personal sekaligus menghancurkan pranata hukum, sosial, ekonomi, dan aspek kehidupan lainnya lewat serangkaian rekayasa kebohongan dan fitnah.
Strategi Politik Tumbak Cucukan
Sepanjang masa Pemilu 2019 ini perilaku tumbak cucukan yang juga menjadi bagian dari strategi politik tampak merajalela dan menimbulkan kerusakan secara sistematis, terstruktur, dan masif, bahkan brutal, dalam arti yang sesungguhnya. Rekam jejaknya masih segar membekas dalam pelik masalah yang dipantik dan didominasi oleh panasnya kontestasi Pilpres.
Jauh sebelum kandidat resmi ditetapkan hingga masa kampanye digulirkan, publik telah difragmentasi ke dalam polarisasi dukungan yang tak elok. Narasi cebong vs kampret dan semacamnya dijalin sedemikian rupa dengan viralnya “perang” hoax, fitnah, dan ujaran kebencian yang meminta tumbal rusaknya persaudaraan hingga memakan korban jiwa seperti yang terjadi di Sampang, Jawa Timur (21/11/2018). Manusia seperti dibikin lupa, bahwa darah yang tertumpah atau jiwa yang tercerabut, biarpun cuma satu, adalah dosa besar.
Masa kampanye yang seharusnya menjadi ajang positif mempromosikan rekam jejak kebaikan dan rencana perbaikan oleh para kandidat seolah tenggelam oleh tumpang tindih kampanye negatif dan kampanye hitam. Argumentasi yang dilontarkan oleh para elit politik pun justru lebih dominan menyakiti akal sehat dan untuk saling menjatuhkan martabat kandidat.
Narasi keberpihakan dipola sedemikian rupa dengan melibatkan politik identitas sehingga ikut menyeret isu SARA yang tentunya ikut pula melibatkan pemuka agama dan tokoh masyarakat di dalamnya. Perbedaan tak lagi menjadi rahmat, justru semakin mengentalkan militansi kebencian antar sesama umat. Aparatur sipil negara (ASN) yang seharusnya bertindak netral pun ikut terlibat. Lihat saja rekapitulasi data kolaborasi antara Komite ASN, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Bawaslu yang menyatakan ada 990 kasus pelanggaran netralitas ASN selama kurun waktu Januari 2018 hingga Maret 2019 (13/4/2019).
Hipokrisi pun dibangun sedemikian rupa. Para peserta Pemilu-lah yang membangun sistem, menetapkan anggaran, dan memilih sendiri aktor yang dianggap tepat untuk menjalankan hajatan Pemilu, namun justru sebagian dari mereka pulalah yang mempertanyakan sekaligus menyangsikan keabsahan proses dan hasil Pemilu itu sendiri. Dunia ilmu pengetahuan pun tak luput dari serangan. Akal sehat kembali diuji ketika metode saintifik statistika dalam kegiatan quick count dianggap sebagai tipu muslihat dan “sihir” belaka.
Berapapun anggaran digelontorkan, sistem demokrasi menjadi tetap lebih mahal daripada pagu anggaran yang ditetapkan akibat ulah tumbak cucukan yang jauh waktu sebelumnya telah membangun narasi dan agitasi bertajuk “kecurangan” untuk mempengaruhi publik supaya tidak mempercayai sistem, lembaga, proses, dan hasil Pemilu. Eskalasi upaya tersebut akhirnya memuncak dan pecah di depan Gedung Bawaslu RI pada 21 dan 22 Mei lalu, hingga menimbulkan kerusakan, korban luka, dan korban jiwa melayang (lagi).
Kanal Demokrasi
Sistem demokrasi sebenarnya telah membangun kanal-kanal khusus yang sekaligus menjadi katalis untuk menyaring yang buruk dan menjamin yang baik untuk terus melaju demi tetap mengaliri dan mengisi ruang-ruang konstitusional yang tersedia, guna memastikan kontinuitas peri-kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika memang ada “sampah” yang menyumbat, hendaklah itu yang dicomot, bukan malah berupaya merubuhkan salurannya.
Kini, dengan segala catatan buruk demokrasi kita kemarin, semua pihak pada akhirnya mau menyelesaikan segala sengkarut masalah melalui prosedur yang legal-konstitusional. Jerih payah para tumbak cucukan itu sepertinya tak membuahkan hasil, kecuali meninggalkan pekerjaan rumah bagi semua pihak untuk merangkai kembali kohesi dan harmoni sosial yang telah remuk berserakan di mana-mana.
Upaya perbaikan pasca rusuh 21-22 Mei lalu, tentunya dimulai di Mahkamah Konstitusi. Sidang yang dibuka dan terbuka untuk umum itu diharapkan dapat menjadi forum yang elegan sekaligus konstitusional bagi pihak-pihak yang selama ini menarasikan kecurangan untuk dapat membuktikan dalilnya tersebut. Tuntaskan semuanya secara transparan dan sportif melalui adu bukti di bawah sumpah atas nama Tuhan, bukan lewat adu domba dan adu fitnah sebagaimana menjadi tabiat tumbak cucukan. (Wiwik Budi Wasito)
*)Penulis adalah Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PIHAK) Indonesia. Anggota Divisi Advokasi LAKPESDAM PCNU Kabupaten Malang
Advertisement