Tulisan Hamid Basyaib Tentang Djaduk Ferianto
Setelah puas mengobrol dan menertawai banyak hal, termasuk diri sendiri, lewat tengah malam kami tidur. Butet Kertaredjasa, Djaduk Ferianto dan saya harus keluar kota besok pagi. Kakak-adik yang lebih sering rukun itu menginap di rumah saya, supaya bisa berangkat bersama ke bandara.
Menjelang sarapan, Djaduk sempat menunjukkan foto-foto yang baru saja dibuatnya. Saya cukup terkejut. Ada foto tumpukan buku d atas meja besar.
Sinar matahari jam 8 pagi menimpa timbunan buku itu. Bentuk kotak-kotak bias cahaya itu, bayangan dari barisan kaca-kaca jendela persegi, membentuk bayangan sinar yang tak rata. Beberapa sudut ruang pun berbeda-beda gradasi terangnya.
Tentu saya tahu di ruang mana foto itu dijepret. Tapi saya tak pernah menduga tumpukan buku tebal-tipis yang tak kunjung sempat saya tertibkan di rak itu bisa menghadirkan gambar yang mengesankan.
Djaduk seperti mau mengabarkan bahwa ia juga punya mata fotografis yang cukup tajam, selain mencurahkan seluruh hidupnya untuk musik yang menjadi gairah terbesarnya.
Dan saya setuju dengan kabar yang dibawa Djaduk melalui foto itu. Saya tahu ia sejak beberapa tahun lalu memelihara fotografi sebagai hobi barunya (selain mengoleksi VW Combi tua).
Ia punya beberapa kamera -- termasuk Leica kecil; sebuah merek yang mengisyaratkan kesungguhannya sebagai amatir. Tapi mutu karyanya mengagetkan. Ia juga menunjukkan berpuluh-puluh fotonya yang lain. Semuanya impresif. Ia tak menutupi rasa bangganya karena mampu menghasilkan semua itu hanya dengan kamera telepon genggam.
Saya pikir ia layak untuk mulai mempertimbangkan pameran karya-karya fotonya atau juga membukukannya. Ia memang berminat untuk itu, katanya, tapi mungkin masih beberapa tahun lagi. "Saya belum pede, Bung," katanya. Ia belum percaya-diri karena belum lama membina hobi itu.
Djaduk, dengan badan bongsor yang selalu bagai tergopoh-gopoh, dengan rambut sepunggung yang selalu digelung, sedang mempersiapkan beberapa acara, termasuk program tahunannya, Ngajogjazz di Jogja, yang akan mulai tiga hari lagi. Juga menyutradarai sebuah drama Teater Gandrik di Surabaya.
Pagi tadi Butet menulis pemberitahuan singkat yang membuat saya ternganga: RIP Djaduk Ferianto, pukul 4 subuh. Ia pasti menuliskan itu dengan merintih.
Saya hanya bisa membelalak, dan tak ingin mencereweti sang kakak dengan pertanyaan tentang sebab-sebabnya. Saya tahu Butet tak sanggup memberi keterangan lebih panjang.
Ia pasti merasa sebatang dinamit meledak di dadanya. Ia mencintai anak bungsu Pak Bagong Kussudiardja itu dengan rasa sayang yang selalu mampu mengatasi kejengkelannya jika sang adik sekali-sekali melontarkan 'statemen politik' yang tak perlu.
Duk, saya sedang di pesawat menuju kota lain, bukan kotamu yang sawah-sawahnya masih sanggup menggerakkanmu untuk memotretnya. Mohon maaf, saya tidak sempat mengantar ke rumah barumu.
Tapi hati saya sama perihnya dengan seluruh kerabat dan sahabat yang menemanimu hingga denyut terakhir nadimu. (Cengkareng, 13.11.19)