Tulang Punggung Nafkah Keluarga, Kok Isteri? Ini Penjelasan Ulama
Fakta di masyarakta, terdapat isteri yang menjadi tulang punggung keluarga tak bisa disangkal. Hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya perempuan buruh migran dan pekerja rumah tangga di luar negeri.
Mereka, para perempuan itu, menjadi kekuatan ekonomi keluarga karena suami kurang berperan aktif dalam beranggung jawab atas kebutuhan keluarga.
Seorang perempuan bernama Elvira Damayanti M Noer. Sekilas nampak seperti perempuan kebanyakan bila di rumah. Vira begitu ia biasa disapa, adalah ibu satu orang anak. Di rumah, bukan hanya anak yang harus ia urusi, tapi juga seluruh keluarga—termasuk kebutuhan suami dan ibunya yang tinggal bersama.
Isteri kok harus bertanggung jawab pada kebutuhan ekonomi keluarga? Benarkah demikian? Berikut Ustaz Ma'ruf Khozin, Pengasuh Pondok Pesantren Aswaja Sukolilo Surabaya memberikan catatan penting:
Alhamdulillah saya bisa berinteraksi dengan saudara-saudara saya sesama WNI yang ada di beberapa kota di luar negeri, baik di kawasan Asia, Arab dan Eropa, walaupun sekedar di dunia Maya namun bisa menyimak sampai detail beberapa permasalahan yang dihadapi.
Sejak 2 bulanan ini saya diajak ngaji Fikih dengan PMI (Pekerja Migran Indonesia, tidak lagi disebut TKI atau TKW) bersama Voice of Migran, Bu Husna Kusnaini dari VoM Hongkong. Itupun kebetulan saja karena pemateri utama, Kiai Marzuqi Wahid (Sekretaris Lakpesdam PBNU dan Penulis Fikih Migran), berhalangan.
Demikian pula ketika bulan lalu Gus Hamim Hr (alumni Lirboyo dan Perumus LBM PWNU Jatim) mendadak berhalangan hadir, maka Alhamdulillah saya bisa ikut ngaji bareng dengan para pekerja migran di Hongkong, Korea Selatan, Singapura dan Taiwan.
Kemarin adalah kesempatan istimewa, karena para pemateri kajian bisa ngumpul dan ngaji bareng di akhir tahun ini. Saya kagum sekaligus salut dengan para pekerja migran di luar negeri ini, mereka masih memegang kuat ajaran Islamnya serta mempelajari tata cara ibadah, di saat bersamaan mereka bekerja kepada majikan / perusahaan milik non muslim, tentu dengan keadaan serba terbatas dan tidak seleluasa di negeri sendiri.
Kemarin siang ada pertanyaan soal suami yang sudah tidak mampu memberi nafkah sementara istri memiliki penghasilan lebih, bahkan istri inilah yang menjadi tulang punggung nafkah keluarga. Ada yang bertanya apakah status nafkah dari istri ini adalah hutang bagi suami?
Gus Hamim menjawab secara hukum Fikih boleh saja suami berhutang kepada istri untuk memenuhi nafkahnya, namun hal itu kurang elok secara etika. Selain Fikih yang fokus pada ranah hukum perlu juga mengamalkan Ihsan yang menjadi ranah akhlak.
Saya setuju dengan jawaban Gus Hamim. Secara Fikih saat suami tidak mampu memberi nafkah terendah, dijelaskan dalam Mazhab Syafi'i:
ﺇﺫا ﺃﻋﺴﺮ اﻟﺰﻭﺝ ﺑﻨﻔﻘﺔ اﻟﻤﻌﺴﺮ ﻓﻠﻬﺎ ﺃﻥ ﺗﻔﺴﺦ اﻟﻨﻜﺎﺡ.
"Jika suami menjadi miskin tidak mampu memberi nafkah orang miskin maka istri boleh membatalkan pernikahan -ke Pengadilan Agama-" (Majmu' 10/267)
Hanya saja bagi istri perlu berpikir 1000 kali untuk memutuskan 'gugatan cerai' ini. Sebab masalah ini bukan sekedar kesabaran saat ketiadaan rezeki namun juga masa depan anak, kasih sayang keluarga dan sebagainya.
Adalah bentuk kemuliaan yang tinggi dan akhlak mulia mana kala istri tidak menuntut hak nafkahnya karena suami dalam keadaan sulit mencari kerja. Isqath Al-Huquq (menggugurkan hak atau tidak menuntut hak istri) ini berdasarkan riwayat hadis:
ﻗﺎﻟﺖ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ، ﻗﺪ ﺟﻌﻠﺖ ﻳﻮﻣﻲ ﻣﻨﻚ ﻟﻌﺎﺋﺸﺔ
Saudah binti Zam'ah berkata: "Wahai Rasulullah, aku jadikan hari giliranku untuk Aisyah" (HR Muslim)
Demikian semoga bermanfaat.