Tukang Sampah pun di Jogja Terasa Ikut Berlibur
DERETAN warung lesehan yang tak tuntas penataannya itu tak hanya mengganggu keindahan Malioboro. Tapi juga membuat city walk di kota budaya tersebut menjadi kotor dan jorok.
Semula saya berpikir mungkin masih terlalu pagi menyusuri jalan itu. Tapi sampai jam 8.30 WIB, saya belum menemukan tukang sampah memunguti kotak-kotak sampah yang berjajar sepanjang pedestrian. Hanya melihat satu gerobak sampah yang tak ada orangnya.
Bisa juga, petugas kebersihan telah menyapu dan membersihkan jalan dan pedestrian Malioboro pada pagi dini hari. Namun, karena banyaknya pengunjung dan pedagang makanan di pagi itu, kawasan tersebut menjadi kotor kembali.
Lantas apakah para tukang sampah yang bertugas membersihkan Maliboro juga ikut berlibur di hari libur? Tidak tahu pasti. Hanya saja sangat aneh kota tujuan wisata seperti Jogja tidak memperhatikan kebersihan salah satu destinasi wisatanya.
Sejauh pengalaman saya mengunjungi kota-kota wisata di luar negeri, tukang sampah sudah bekerja sejak orang belum bangun tidur. Rata-rata mereka membersihkan jalanan dengan mesin penyapu jalan. Tak peduli udara dingin menyergap mereka. Yang penting, saat orang bangun langsung menikmati kebersihan kotanya.
Selain tukang sampah bekerja sebelum orang memulai kegiatan pagi, kesadaran masyarakatnya juga sudah tinggi. Seakan tidak ada yang berani membuang sampah sembarangan. Mereka disiplin tak mau mengotori sedikit pun pojok kotanya.
Di Malioboro? Tak usah ditanyakan lagi. Selain tak terlihat tukang sampah sampai siang hari, kesadaran bersih itu terasa kurang. Juga mereka yang mencari penghidupan di sepanjang jalan itu.
Terlihat para pedagang lesehan mencuci dan membuang sampah makanan di pedestrian yang sama. Akibatnya, granit abu-abu yang indah itu di beberapa tempat tampak kehitaman. Tampak mbolot, bercak hitam kotoran ada di mana-mana.
Memang tidak sepenuhnya bisa menjaga granit itu tempat kinclong. Apalagi selama mereka memasak dan mencuci piring dan gelas
sisa makan di tempat saya sama. Tapi mestinya ada cara lain: mengepel pedestrian secara berkala. Mungkin dua atau tiga hari sekali.
Atau kalau tidak bisa memindahkan para pedagang, mereka dilatih disiplin. Mereka harus bertanggungjawab terhadap lokasi yang digunakan. Kalau sampai tidak bisa menjaga kebersihan, mereka didenda atau diblacklist tidak boleh berdagang.
Saya pernah lihat cara ini diterapkan kawasan PKL (Pedagang Kaki Lima) di Petaling Kuala Lumpur.
Ada kawasan jalan yang setiap malam menjadi pusat jualan PKL. Jumlahnya puluhan, bahkan bisa ratusan.
Namun, kawasan itu tetap bersih setiap saat. Suatu ketika, saya datang jelang tengah malam saat PKL harus mengemasi dagangan. Tampak sejumlah pedagang mengepel jalan di sekitar lokasi jualannya.
"Kami wajib meninggalkan lokasi dalam keadaan bersih. Kalau nggak didenda atau tidak boleh jualan," kata pedagang sambil sibuk membersihkan jalan yang dipakai jualan.
Di Malioboro, saya menyaksikan gerobak yang ditinggal pedagangnya. Di sekitarnya bertebaran sampah. Di banyak warung lesehan yang sudah buka pagi hari pun juga demikian. Banyak ember berisi air. Tapi bukan untuk mengepel lantai trotoar. Melainkan untuk mencuci piring bekas makanan.
Di ujung jalan lainnya tampak sejumlah pedagang sate gendongan menjajakan dagangannya. Mereka
Membakar di tempat. Di atas pedestrian yang dibangun menghabiskan lebih dari Rp 35 miliar. "Sate Mas," tawarnya tanpa merasa ada yang salah.
Keadaan lebih parah di depan Pasar Beringharjo dan Gedung Agung Yogyakarta. Di sisi timur ujung jalan Malioboro itu sedang dibangun tahap kedua pedestrian. Namun proses pembangunan yang belum
selesai itu dibiarkan terbuka dan tak bersih.
Malah sebagian ruas selatan pasar seluruh lebar pedestrian yang belum tuntas dipakai jualan dengan tenda panjang di atasnya. Saya tidak tahu apakah hanya selama masa lebaran atau seterusnya. Padahal lantai teraso pedestriannya tampak belum dipoles.
Rasanya masih perlu keseriusan pemerintah Jogjakarta untuk menata Mailoboro untuk menjadi nyaman bagi wisatawan. Masak ikon utama kota dibiarkan kotor dan jorok.
"Sudah banyak berbenah. Hanya sekali lagi, aspek kebersihan perlu lebih dijaga," kata Tofan Mahdi, salah satu eksekutif Astra Grup mengomentari perubahan Malioboro.
Piye Pak Walikota Jogja? Tampaknya, selain soal harga warung lesehan yang sering tak terkendali, masih ada masalah kebersihan yang harus serius ditangani. (arif afandi/habis)