Tujuh Hakikat Kemerdekaan, Menurut Gus Dur
Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur secara tegas mengungkap tujuh poin alasan mengapa saat itu bangsa Indonesia harus merdeka dari tangan penjajah dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Tujuh poin pernyataan ini tidak hanya dimaksudkan Gus Dur untuk menelaah kembali arti kemerdekaan yang telah diraih bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai dasar dan pijakan melangkah bagi Indonesia.
Hakikat kemerdekaan yang diungkapkan Gus Dur juga masyarakat tidak terjajah oleh berbagai ‘baju kotor’ yang terus menggelayuti rakyat Indonesia dalam bentuk kolonialisme modern berbalut agama, radikalisme global, penolakan terhadap tradisi dan budaya, intoleransi, kapitalisme, pencekik rakyat kecil, reduksi moralitas, dan perilaku korup.
Menurut Gus Dur, kemerdekaan yang diproklamasikan oleh para founding fathers dapat terwujud karena setidaknya harus menyatakan beberapa hal mendasar yang menjadi unsur-unsur utamanya. Hal ini juga sebagai alasan fundamental bangsa Indonesia untuk melangkah ke depan sebagai modal moral, spiritual, maupun material. Berikut tujuh pernyataan tersebut:
Pernyataan pertama, kemerdekaan lebih merupakan proses perjuangan menentukan nasib sendiri daripada keadaan yang bebas dari segala soal, kesulitan, dan hambatan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, bangsa dan negara Indonesia menjamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD)-nya bahwa sistem yang menghambatnya (penjajahan) tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Pernyataan kedua, kemerdekaan adalah hak, hak yang mendasar bagi setiap manusia. Karena itu, harus dijamin dalam hidup kemasyarakatan, terutama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 17 Agustus 1959, perangkat hidup kebangsaan dan kenegaraan Indonesia disusun dan digunakan sedemikian rupa sehingga kemerdekaan justru terancam oleh tindakan sewenang-wenang (license).
Pernyataan ketiga, musuh kemerdekaan bukanlah terutama kekuasaan masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan (license) dalam penggunaa kekuasaan itu. Tergantung dari susunan dan penggunaannya, kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan bisa mempersempit dan memperbesar peluang bagi kemerdekaan. Dari 17 Agustus 1959 sampai Maret 1966, susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan begitu terpusat di satu tangan seorang pemimpin, sehingga kemerdekaan tidak saja tertekan, tetapi juga telah mengakibatkan malapetaka kemiskinan dan kekerasaan.
Pernyataan keempat, kemerdekaan mensyaratkan susunan dan penggunaan kuasa kemasyarakatan dan kenegeraan tertentu. Semakin terpusat kuasan itu di satu tangan, semakin tak berfungsi kemerdekaan sebagai kaidah hidup kemasyarakatan. Sejak Maret 1966, susunan kuasan kemasyarakatan dan kenegaraan kita sudah disebara meskipun harus diakui bahwa penyebaran itu masih sangat terbatas.
Pernyataan kelima, kemerdekaan sulit bertahan bahkan dalam susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan yang terpusat di beberapa tangan. Beberapa tahun belakangan ini, kurang berfungsinya kemerdekaan makin disadari sebagai biang keladi berbagai kesulitan, sepeti lambatnya laju produktivitas, mutu produk yang kurang memadai, meski daya cipta masyarakat dan daya kerja aparat kekuasaan yang rendah.
Pernyataan keenam, kemerdekaan semakin berfungsi dalam susunan kuasa kemsyarakatan dan kenegaraan yang tersebar dengan maksimal. Karena itu, risiko ancaman kesewenang-wenangan memang sangat tinggi, tapi ini mungkin bisa dicegah oleh jaminan persamaan hak bagi semua. Bila pengalaman masyarakat dan negara lain di dunia begitu diperhatikan, maka nyatalah bahwa kemerdekaan (liberty) selalu bergandeng dengan rasa persaudaraan senasib sepenanggungan (fraternity), dan persamaan hak (equality). Semua ini bukan barang jadi, tapi harus diramu, dipelihara, dan dikembangkan secara tekun terus menerus.
Pernyataan ketujuh, kemerdekaan paling mungkin berfungsi dalam suatu pengelolaan hidup masyarakat dan negara yang secara seimbang menghubungkannya dengan perasaaan senasib sepenanggungan dan persamaan hak. Upaya yang tak habis-habis dalam memeliharan keseimbangan ini bisa disebut demokrasi, di mana kemerdekaan hidup dan tanggung jawab yakni keseimbangan dengan persamaan hak bagi semua, serta dengan perasaaan senasib sepenanggungan. Mencapai keseimbangan ini adalah tugas masyarakat dan bangsa Indonesia sejak sekarang.
Tujuh pernyataan Gus Dur tersebut menjelaskan tentang hakikat kemerdekaan yang dipotret secara historis lalu dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman sehingga bersifat reflektif. Kemerdekaan bukan hanya langkah awal membangun kemanusiaan yang beradab, tetapi juga mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial, baik dalam skala nasional maupun global.
*) Tujuh poin ini diungkapkan Gus Dur saat memandu diskusi dalam Forum Demokrasi (Fordem) pada 8 Agustus 1991 silam untuk memperingati HUT ke-46 Republik Indonesia. Dokumen tersebut dimuat di Majalah AULA Nahdlatul Ulama.
Advertisement