Tujuannya Kawin
Di dalam masyarakat misoginis seperti di Timur Tengah dan sejumlah kawasan lainnya di zaman dahulu, sudah biasa terjadi perkawinan yang diatur tanpa melibatkan calon-calon pengantinnya. Sehingga lazim saja si pengantin baru bertemu dengan isteri atau suaminya untuk pertama kali sesudah akad nikah.
Sedemikian lumrahnya praktek semacam itu sehingga dalam kitab-kitab fiqih klasik ada fasal yang membahas “kriteria cacat” pada isteri atau suami yang dapat dijadikan alasan sah untuk membatalkan pernikahan atas dasar “wan-prestasi”.
Kriteria yang dibahas itu pada umumnya menunjuk kekurangan-kekurangan fisik yang dapat meniadakan fungsi seksual.
Imam Asy-Sya’bi (Abu ‘Amr ‘Amir bin Syarahil bin ‘Abdi Dzi Kibar Al Humairi), salah seorang ulama tabi’in (lahir sekitar tahun ke-17 H), didatangi seseorang yang minta fatwa terkait perkawinan yang telah terlanjur diterimanya
“Sesudah akad nikah, baru saya tahu kalau isteri saya itu pincang. Bolehkah saya mengembalikannya kepada orang tuanya?”
“Boleh”, Asy-Sya’bi menjawab tandas, “kalau memang engkau mengawininya untuk kau ajak balapan lari”.
Advertisement