Tuhan Tidak Menyamaratakan, Kembali ke Cinta Pertama
Soal keimanan tak hanya monopoli umat tertentu. Sejak zaman dahulu, sebelum Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam (S.a.w.) telah ada orang-orang beriman dan berjalan lurus dan adil. Namun, dalam perjalanannya di antara mereka ada yang jauh dari laku keimanan.Sehingga turunlah Wahyu untuk Nabi Akhir Zaman, ya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (S.a.w).
Guna memahami hal ini, pesan keislaman KH Husein Muhammad memberikan kesadaran kepada akan hal tersebut. Berikut petikannya:
Dalam suatu kesempatan salat berjamaan. Imam membaca Ayat Al-Quran yang sungguh menarik.
لَيْسُوا سَوَاءً ۗ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ . يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَٰئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ
"Mereka (ahli kitab) itu tidaklah sama; di antara Ahli Kitab itu ada umat golongan (komunitas) yang berperilaku lurus, jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)."
"Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menganjurkan kebaikan, melarang melakukan keburukan/kejahatan dan aktif melakukan kerja-kerja sosial; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh."
Tuhan Tidak Menyamaratakan
Lihatlah. Betapa Tuhan tak menjeneralisasi/ menyamaratakan non muslim (ahli kirab) dalam hal keyakinan dan perilaku.
Seorang teman bertanya: apakah hal tersebut juga terjadi dalam komunitas muslim?. Dengan redaksi lain : Apakah semua orang yang beragama Islam juga berkeyakinan dan bertingkah laku sama atau berbeda-beda?.
Apakah yang menjadi ukuran baik dan buruknya seseorang?. Apakah formalisme ritual keagamaan menjamin kebaikan seseorang?.
Aku tersenyum saja. Aku bilang: Pertanyaanmu keren tapi berat, membutuhkan permenungan intens.
Lalu aku bilang : "Salah satu problem kehidupan kita sepanjang sejarah adalah generalisasi satu isu atau kasus. Dalam bahasa lain : "universalisasi sesuatu yang partikular" dan partikularisasi sesuatu yang universal. Ini berdampak melahirkan ketidakadilan.
Kembali ke Cinta Pertama
Suatu hari, beberapa puluh tahun lalu, aku singgah di rumah seorang Kiai di pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur untuk silaturrahim kepada kiyai dan ibu nyai, sekaligus mengantarkan anak perempuanku mesantren di situ.
Di pintu masuk pesantren itu aku membaca sebuah syair/ puisi pada sebuah papan dengan khat (kaligrafi) yang indah. Puisi ini pernah aku hapal saat mondok di pesantren Lirboyo.
Gubahan Puisi Abu Tamam
Puisi itu gubahan Abu Tamam, seorang penyair besar asal Damaskus, penulis "Diwan Hamasah". Bunyinya :
كَم مَنزِلٍ في الأَرضِ يَألَفُهُ الفَتى
وَحَنينُهُ أَبَداً لِأَوَّلِ مَنزِلِ
"Sudah berapa banyak rumah di bumi yang disinggahi anak muda
Tetapi rindunya selalu kepada "rumah yang pertama".
Sebelumnya dia mengatakan :
نَقِّل فُؤادَكَ حَيثُ شِئتَ مِنَ الهَوى
ما الحُبُّ إِلّا لِلحَبيبِ الأَوَّلِ
"Silakan kau pergi ke mana saja yang kau suka
Tetapi ingat kau pasti kembali kepada kekasih pertama"
Seorang teman bertanya, apa maksud " rumah yang pertama;?.
Aku bilang karya sastra terutama puisi selalu bermakna ambigu. Kita tak tahu pasti apa makna yang dimaksud penulisnya. Ia adalah ekspresi simbolik atas pengalaman spiritual yang tersebunyi di lubuk jiwa.
Lalu aku bilang saja : ia bisa berarti "kekasih pertama", bisa juga berarti tempat kita berasal", kampung halaman tempat kita bermain dan berlari-lari dalam hujan dan bisa pula tempat ruh kita berasal.
Waalahu A'lam.
"Catatan: Kiai yang aku silaturrahim di rumah itu akhirnya jadi mertua adikku. Dan kini dia membangun pesantren sendiri. Alhamdulillah. Semoga berkembang dan bermanfaat bagi masyarakat."
Demikian catatan pesan keislaman KH Husein Muhammad. (10.06.2021/HM)