Tuhan Dipuja, Diagungkan dan Dirusak Para Pemuja-Nya
Persoalan Islam dan keumatan di Indonesia mendapat perhatian serius KH Husein Muhammad. Pengasuh pesantren yang aktivis sosial Fahmina Institute ini, memberikan catatan "Permenungan dan Refleksi".
Berikut catatan kritis Kiai Husein Muhammad:
Manakala sendirian bersama diri, aku acap merenung membaca zaman yang datang dan yang pergi.
Dalam permenungan itu aku membaca zaman yang gelisah, dunia galau, manusia-manusia yang ditelikung kecemasan, celoteh yang tak jelas dan kata-kata yang tumpang tindih, simpang-siur, gegap-gempita caci-maki, dan orasi-orasi memukau, tanpa makna.
Aku juga membaca, ada manusia-manusia yang gemar melampiaskan segala hasrat untuk kenikmatan diri dengan cara yang benar maupun dengan merampas hak milik orang lain atas nama kekuasaan, memaksakan kehendak, pamer kebesaran nominal dan lain-lain.
Dalam waktu yang sama di tempat yang lain, aku melihat banyak orang menyebut-nyebut Nama Allah atau Tuhan beribu kali. Agama, di mana Tuhan selalu disebut di dalamnya, tampak bertambah amat penting dalam hidup mereka, memberi kekuatan, menerangi jalan dan menyediakan harapan-harapan keindahan.
Tetapi, betapa ironis, di sudut lain, dalam waktu yang sama, rumah-rumah tempat Tuhan dipuja dan diagungkan dirusak, para pemuja-Nya diusir dengan pedang dan parang serta dipaksa mencabut keyakinannya, kadang hanya karena namanya yang tak sama.
Ketika saya berucap untuk teman saya yang bahagia: “Puji Tuhan,” segera disambut seseorang dengan nada tinggi : “Kok, puji Tuhan, bukan puji Allah?”. Manakala saya menulis doa untuk seseorang : “Semoga Tuhan memberkatimu”, seorang teman FB menulis : “Mengapa memberkati, bukan memberkahi?”.
Betapa anehnya orang itu. Berbeda nama dan beda satu huruf saja kok jadi masalah?.
Mengucapkan salam kepada sesama warga yg berbeda agama, kata "mereka" dimurkai Tuhan. Tuhan jadinya mudah marah, Dia maha Pemarah, bukannya maha kasih.
Di ruang lain di jalan-jalan, hari ini, Kata-kata Tuhan diteriakkan dengan garang: “Tuhan Maha Besar” atau “Ini kata Tuhan. Kata-kata-Nya tak boleh ditentang. Siapa menentang kafir dan zalim”.
Perempuan-perempuan direndahkan, disingkirkan dan dihancurkan atas nama-Nya. Semua orang ingin bicara atas nama Tuhan dan berebut paling mengerti Tuhan.
Betapa aneh. Formalisme-formalisme ritual keagamaan dan pendidikan dengan berjuta fasilitasnya, dan regulasi-regulasi yang menghabiskan milyaran rupiah telah menghasilkan kenyataan yang mencemaskan dan menakutkan.
Lebih mengerikan dari itu adalah bahwa kata-kata Tuhan telah dimanfaatkan untuk dan sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan yang melukai orang, sesama makhluk Allah.
”Jika agama melegitimasi ketidakadilan, teror dan pembunuhan anak-anak manusia, apakah ia masih diperlukan?”.
Dalam situasi seperti ini aku melihat para pemimpin seperti diam saja, membiarkan, bahkan boleh jadi memberikan dukungan atasnya. Sebagian daripadanya malahan menyetujui untuk dikonsruksikan dalam lembaran-lembaran Negara.
Tak ada negarawan yang hadir dan tampil membawa lilin, yang menerangi jalan. Zaman telah sepi dari kehadiran mereka. Belakangan, orang-orang terpilih dan para pemimpin yang terhormat tampil sebagai layaknya para “jawara” yang siap saling mengalahkan dan berebut kekuasaan.
Saya mengira-ngira bahwa fenomena tersebut merupakan ekspresi-ekspresi dari palung jiwa yang luka, tertindih, tercekik, berkarat dan ditelikung oleh gelombang panas, yang menahun. Ia adalah situasi sosial yang tengah kehilangan pengetahuan tentang orang lain dan benda-benda di sekitarnya. Ini semua merupakan produk dari pendidikan yang dijalani selama bertahun-tahun.
Aktivitas belajar-mengajar di lembaga-lembaga pendidikan sekuler maupun agama di negeri ini telah menanamkan kebiasaan-kebiasaan: mengulang-ulang, memanjakan tubuh dan hasrat-hasrat sementara dan di sini.
Pendidikan tidak diselenggarakan untuk melatih dan mengembangkan dialektika intelektual yang kritis dan mencerdaskan nalar, tidak mengindahkan ruh yang menyimpan cahaya dan tidak mengendalikan hasrat yang meledak untuk menjadi sehat.
HM
*) Dipetik dari akun facebook KH Husein Muhammad.