Tubuh Perempuan Harus Dilindungi Diproteksi Ketat, Pesan Ulama
Ngaji kitab "Imroatuna fi al Syari'ah wa al Mujtama' dalam catatan KH Husein Muhammad.
Soal perlunya jilbab bagi kaum perempuan atau Muslimah tetap menjadi bagian penting dalam pembahasan masalah keumatan oleh para ulama. Bagaimana sesungguhnya batasan aurat bagi perempuan, namun pada intinya ulama sepakat agar tubuh perempuan dilindungi dan diproteksi secara ketat.
Jawaban-jawaban para ulama terhadap masalah umat Islam, seperti masalah perlunya jilbab dan batasan aurat bagi perempuan cukup beragam. Tetapi secara umum memperilhatkan pandangan-pandangan fikih konsevatif. Pandangan-pandangan mereka tidak keluar dari bingkai fikih mazhab empat, terutama mazhab Hanafi dan Maliki.
Sebagian pandangan menunjukkan cukup progresif tetapi sebagian yang lain tetap diskriminatif. Jika pandangan itu kita petakan maka:
Untuk soal tubuh, semua ulama sepakat tubuh perempuan harus dilindungi dan diproteksi secara ketat. Aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Hak atas Tubuh Perempuan
Untuk soal hak atas tubuh, seperti memilih pasangan hidup dan menikahkan diri tanpa wali, banyak pandangan ulama yang cukup progresif. Perempuan berhak memilih dan melakukan akad tanpa wali jika sudah “rusyd” (dewasa secara intelektual). Tetapi dalam masalah perceraian, hak cerai tetap di tangan laki-laki menjadi pandangan mayoritas.
Dalam hal soal fikih “mu’amalah”, yang meliputi aktivitas sosial, ekonomi, hukum dan politik pandangan secara umum cukup progresif. Perempuan boleh berdagang, menjadi hakim pengadilan, menjadi pejabat negara dengan catatan tidak sebagai pengambil keputusan/kebijakan.
Tetapi untuk kepemimpinan puncak, mereka sepakat bahwa perempuan tidak bisa/boleh menjadi pemimpin dalam ruang domestik dan publik. Perempuan dilarang menjadi pemimpin negara dan rumah tangga, apalagi dalam ruang privat (memimpin shalat).
Sesudah memeroleh jawaban dari para ulama di atas, al-Haddad tampak tetap kecewa. Ia merefleksikan pandangan para ulama di atas. Ia mengatakan,
Pada umumnya para ulama fikih sepanjang sejarah cenderung mengikuti pendapat ulama pendahulunya meski sudah berjarak ratusan tahun dan telah terjadi perubahan besar.
Mereka cenderung mengambil hukum berdasarkan pemahaman tekstualitas. Cara itu lebih mereka pilih dibanding berusaha mengetahui aspek kesesuaian teks-teks tersebut dengan konteks baru dan kemaslahatan masyarakat kontemporer.
Mereka tidak melakukan analisis sejarah sosial yang sudah dan terus berubah dan berkembang. Bila itu dilakukan niscaya akan diketahui fleksibiltas hukum dan mereka akan memutuskan dengan hukum yang relevan dengan ruang dan waktunya.
Sikap abai mereka terhadap kajian sosiologis tersebut itulah yang membuat mereka merasa tidak ada keharusan untuk mengubah hukum sejalan dengan perubahan zaman. Mereka juga tidak memberikan perhatian yang cukup untuk mengkaji semangat (ruh) syariat dan tujuannya. (kitab "Imroatuna fi al Syari'ah wa al Mujtama' hal. 122).
Demikian catatan KH Husein Muhammad.