Trump's Way di Sekitar Kita
Hanya bisa ikut sedih. Saat mendengar kabar seorang tetangga meninggal akibat Covid-19. Setelah dua hari dirawat di rumah sakit.
Mula-mula anaknya yang kena. Entah dari mana ia terpapar. Bisa jadi dari tempat kerjanya. Ia pun kemudian dirawat di RS Haji Surabaya.
Setelah dua minggu sembuh. Pulang ke rumah. Ganti bapaknya tiba-tiba bermasalah dengan lambungnya. Dibawa ke RSI Jemursari. Hanya dua hari meninggal karena sesak napas.
Sejak salah satu anggota keluarga itu positif Covid-19 tak ada tracing untuk yang lain. Tak ada petugas kesehatan --Puskesmas maupun BPPD (Surabaya BPPD-Linmas) memeriksa.
Sekeluarga isolasi diri. Ada balita juga di rumahnya. Para tetangga satu kompleks urunan. Membantu keluarga itu memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Baru belakangan terdengar ada bantuan permakanan dari kelurahan. Tanpa ada pemeriksaan kesehatan untuk di sekitarnya. Apalagi rapid test atau semacamnya.
Seakan seperti tak terjadi pandemi. Tidak seperti yang terungkap di media. Yang katanya sudah menangani pandemi dengan baik. Sudah kerja keras dan melakukan apa saja.
Kami memang semuanya sudah harus move on. Dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Jaga jarak, pakai masker, selalu cuci tangan pakai sabun. Pokoknya pola hidup bersih dan sehat.
Tentu juga terus berdoa. Menjaga diri sebaik mungkin untuk tidak terpapar virus yang belum ada obatnya ini. Yang bisa membuat orang sesak napas dan meninggal dunia.
Saya membayangkan selalu ada tiga langkah setiap terjadi kasus positif di kota ini. Tiga T: Tracing, Testing, dan Treatment.
Begitu ada ketahuan ada yang positif, Pemkot turun tangan melakukan tracing di keluarga itu. Melakukan test untuk keluarganya dan siapa saja yang pernah berhubungan.
Bisa juga ada lockdown dalam skala komunitas. Seperti yang pernah dijanjikan Pemkot Surabaya dan Bu Risma saat ngotot ingin mengakhiri PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Ketika menghadapi kasus positif Corona di sekitar kita, semua itu baru pernyataan semata. Tidak berlangsung dalam dunia nyata. Hanya dalam harapan dan angan-angan.
Yang bergerak malah komunitas sekitar maupun lembaga keagamaan. "Kami dibantu gereja untuk rapid test untuk semua keluarga," kata tetangga yang tak perlu disebut namanya.
Pandemi ini memang menguji komitmen para kepala daerah. Yang bersentuhan langsung dengan warganya. Apakah punya kepedulian terhadap warga atau hanya kepada dirinya?
Sementara warga punya harapan banyak kepada kepala daerahnya. Saat menghadapi pandemi seperti ini. Apalagi pandemi yang penyebarannya sangat cepat. Bisa membuat yang terpapar dengan gejala maupun tidak.
Tentu tidak masalah jika pemerintah daerahnya tidak mampu akibat keterbatasan anggaran. Namun, sebaiknya hal itu disampaikan secara terbuka. Bukan hanya seakan-akan mrantasi alias mampu mengatasi, tetapi sejatinya tidak.
Bukan gercep setelah warga lapor terbuka lewat media. Sementara lapor lewat jalur struktural mulai RT tak mendapatkan perhatian sepantasnya. Atau setidaknya ada protokol pasti yang dilakukan pemerintah kota setiap ada kasus baru positif Corona.
"Kami sudah bantu keluarga itu untuk isolasi mandiri. Namun kalau ada urusan medis, itu bukan kompetensi kami. Apalagi kalau menyangkut bayi," kata petugas Dinkes Pemkot Surabaya kepada pelapor.
Pemkot sudah berusaha. Namun memang masih belum memenuhi harapan warganya. Bayangan warga, jika ada kasus, maka radius beberapa meter dilakukan rapid test. Jika ada yang reaktif langsung diswab. Kawasan di sekitar keluarga yang positif dilockdown.
Ternyata belum sampai ke langkah itu. Meski kini kewenangan penanganan Covid-19 di Surabaya sepenuhnya ada di Walikota Tri Risma Harini.
Sudah lelah kah?
Bisa jadi bukan hanya warganya yang lelah menghadapi pandemi ini. Tapi juga pemerintah daerahnya. Lelah setelah selama 5 bulan terus menghadapi pandemi yang tak juga reda. Lelah mengingatkan warganya yang ngeyel tak pakai masker.
Saya yakin warga juga legowo. Ketika yang diharapkan mengurusi nasib mereka juga lelah. Yang penting berterus terang. Bukan menyampaikan bahwa telah menanganinya, tapi tidak ada kenyataannya di lapangan.
Warga sadar bahwa virus ini barang gaib. Yang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Hanya dengab mata telanjang. Terlihat jika sudah memapar ke dalam tubuh manusia. Baik yang tanpa gejala atau dengan gejala.
Karena itu, yang dibutuhkan adalah keterbukaan. Pemerintah cukup terbuka mengatakan bahwa eh...di lingkunganmu ada kasus positif lho. Maka hati-hati dan bantu mereka agar jenak mengisolasi diri.
Kasus pandemi Covid-19 juga bukan aib bagi para pemimpin kota. Karena itu, gagal mengendalikan juga tidak masalah. Tidak perlu menjadi alat memoles muka dengan seakan-akan telah berhasil mengatasinya.
Kecuali memang sengaja mengambil jalan Donald J Trump dalam mengelola kekuasaannya. Membiarkan warganya banyak yang terpapar dan mati. Bahkan menjadikan pandemi sebagai bagian meningkatkan elektabilitas dirinya.
Jika ini yang terjadi, warga juga tidak bisa berbuat banyak. Paling hanya bergumam: "Eh...Trump's Way ternyata juga merambah di sekitar kita."
Ya sudah. Jaga diri masing-masing saja!