Trump dan Vandalisme Warga Amerika
Charles W Blow, kolumnis The New York Time, beberapa tahun lalu, menulis opini yang sangat kritis, sejenak setelah Trump terpilih sebagai Presiden AS mengalahkan Hillary Clinton yang cantik itu.
Blow meramalkan bahwa terpilihnya Trump adalah tragedi serius bagi Amerika Serikat selaku negara super power. Menurut Blow, Trump sejatinya adalah tiket Amerika menuju ke neraka. Ia memberi judul analisisnya itu dengan "A Ticket to Hell".
Bagi Blow, analis politik berkulit hitam ini, Trump tak lebih seorang pebisnis sukses yang menjual dirinya secara overselling.
Ia memang berhasil mengumpulkan banyak uang. Sebagai tanda keberhasilannya itu Trump membangun tower mentereng; Trump Tower, di kota New York. Namun pada detik yang sama, Trump tidak pernah diterima secara baik di kalangan warga papan atas New York dan kota-kota penting Amerika lainnya. Meski tidak diterima kelas menengah Amerika, faktanya Trump adalah seorang presiden. Disitulah justru akar masalahnya; tingkat akseptabilitasnya minus.
Kehadiran Trump di panggung politik bukan hanya melahirkan sinisme, tapi juga kecemasan yang amat besar. Kelas menengah Amerika cemas karena tabiat Trump yang ugal-ugalan, sembrono, dan pernyataannya yang kerap tidak sensitif.
Seorang Indonesianis asal Amerika, Bill Liddle, dalam suatu kesempatan diskusi terbatas di Institut Peradaban di Jakarta beberapa bulan silam juga sempat mengungkap sinisme kelas menengah Amerika itu. Liddle yang merupakan guru dari para ahli politik di Indonesia itu tidak bisa menyimpan kekecewaannya pada Trump.
Bagi Liddle, Trump berpotensi merusak citra Amerika dimata dunia. Amerika sebagai kiblat demokrasi selama ratusan tahun bisa terancam eksistensinya. Dalam kesempatan rehat diskusi, saya sempat mendekati Liddle dengan pertanyaan kecil seraya foto bersama.
"Pak Bill, siapa sebenarnya penasihat politik Trump hingga wajah Amerika seperti sekarang ini?"
Pak Bill menjawab dengan nada sangat sinis, "Tidak ada, hanya dia sendiri," cetusnya dengan raut muka tak suka.
Pendek kata, kemenangan Trump sebagai Presiden Amerika itu penuh penolakan kalangan terdidik dan kelas menengah atas Amerika. Mungkin karena tidak saja perkara kompetensi dan sikap kenegarawanan, namun juga terkait isu unfair competition, saat pemilihan presiden. Trump sempat diisukan telah melibatkan pihak intelijen Rusia dalam memanipulasi angka-angka kemenangan melalui rekayasa teknologi informasi.
Vandalisme Amerika
Pekan terakhir ini Amerika betul-betul berubah menjadi bangsa yang mendadak tidak beradab, terutama pasca-tewasnya George Floyd setelah dianiaya oleh polisi negara bagian Minnesota. Tewasnya Floyd menjadi pemicu demonstrasi di nyaris semua negara bagian AS yang dikenal bangsa yang beradab.
Demontrasi itu tidak saja berupa unjuk rasa, namun disertai aksi-aksi vandalisme berupa pembakaran dan perusakan mobil polisi, gedung-gedung pencakar langit, aksi penjarahan mall-mall, super market, aksi corat-coret tembok, kantor media massa, hingga bentrokan antar warga. Pekan ini betul-betul menjadi masa kegelapan bagi Amerika. Negeri yang sangat kosmopolit itu ternyata sangat rentan dan labil.
Apakah hal ini karena model kepemimpinan Trump yang cenderung rasis? Atau karena memang bangsa itu menyimpan kepalsuan selama berabad-abad. Tentu hal itu menarik untuk diteliti dalam berbagai perspektif ilmu pengetahuan.
Tetapi mengapa, demonstrasi memprotes terbunuhnya seorang Floyd itu begitu masif diberbagai kota? Siapa sesungguhnya sosok George Floyd itu? Adakah Floyd itu adalah simbol perlawanan dari sikap rasialisme kulit putih atas warga Amerika kulit hitam?
Apakah kerusuhan berlatar rasial ini ada kaitan langsung dengan dinamika politik menjelang pemilihan presiden mendatang. Apakah demonstrasi tersebut ada yang menggerakkan untuk mendesak Trump mundur dari pertarungan politik? Mari kita lihat di hari hari mendatang.
Rasialisme Amerika memang tidak pernah padam. Perbedaan warna kulit putih dan kulit hitam masih tetap menjadi masalah pelik di Negeri Paman Sam itu. Amerika memiliki pengalaman sangat buruk terkait rasialisme sejak Malcolm X memimpin perlawanan yang sengit dan penuh penderitaan itu.
Malcolm X dikenal sebagai tokoh negro yang legendaris Amerika yang akhirnya berhasil merevolusi dunia Islam dan kemanusiaan di Amerika Serikat. Sebelum itu, kaum negro Amerika selalu dipandang sebagai sampah yang tak berguna.
Ratusan tahun warga negro Amerika hidup sebagai budak kasar yang lemah. Mereka sering diperlakukan sebagai pesakitan yang selalu kalah dan terpinggirkan. Mereka bekerja di kapal-kapal sebagai kuli kasar yang dihinakan. Sementara banyak gadis-gadis mereka kerapkali menjadi sasaran pelecehan seksual para tentara Amerika yang haus seks pasca perang.
Rasialisme Amerika itu baru mereda setelah banyak lahir para Black Politician yang berhasil memasuki parlemen Amerika sehingga hak-hak konstitusional mereka sebagai Manusia diakui. Namun entah mengapa, kasus kematian George Floyd begitu mengharu-biru warga Amerika dengan pembelajaran yang sangat brutal?
Mengapa pula, polisi kotaa Minneapolis itu begitu kasar dan biadab hingga memperlakukan pelakunya hingga meninggal. Adakah hal itu sisa sisa kebencian kaum kulit putih pada kulit hitam? Adakah itu potret bawah sadar bahwa rasialisme Amerika masih tersimpan dibawah karpet?
Adakah kejadian brutalisme Amerika dalam minggu minggu kedepan ini yang disebut Charles W Blow sebagai Neraka Amerika itu? Wallahu'a'lam. Mari kita lihat saja apa yang akan terjadi dalam hari-hari berikutnya.
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)
Advertisement