Trisutji D Kamal, Spiritualitas Islam dalam Komposisi Musik
Kabar duka bagi masyarakat kesenian dan kebudayaan Indonesia. Komponis terkemuka,Trisutji Djoeliati Kamal meninggal dunia pada Minggu pagi, 21 Maret 2021. Ia mengembuskan nafas terakhir di rumah Jalan MPR V/15 Cilandak, Jakarta 12430 Jakarta.
"Innalillahi wainnaillaihi rojiun. Telah meninggal dunia tante/eyang Trisutji Kamal binti Djulham Suryodiprojo pagi ini di rumah Jalan MPR Cipete, Jakarta. Mohon dimaafkan salah dan khilaf beliau," demikian kabar beredar di kalangan penulis Indonesia.
Trisutji Djoeliati Kamal lahir di Jakarta, 28 November 1936. Masa remajanya dihabiskan di Binjai, Sumatera Utara. Tahun 1955, Trisutji meninggalkan Indonesia pergi ke Eropa untuk studi musik dalam jurusan piano dan komposisi. Selama 12 tahun menekuni seni musik di Amsterdam, Paris dan Roma.
Ia menyelesaikan studinya tidak hanya dalam piano dan komposisi namun termasuk wanita pertama di Italia yang lulus dalam Akustik Musik. Di Amsterdam pernah berguru pada komponis Belanda ternama: Henk Badings. Semasa mahasiswa di Roma, Trisutji memerkenalkan karya-karyanya di Wina, Praha, Moskow di Lomonosof University.
Operanya Lorojonggrang merupakan opera Indonesia pertama dalam satu babak dan dua scena yang digelarkan di Castel St Angelo Roma, pada 1956.
Perjalanan hidupnya memang dilakukan untuk mengabdikan diri pada kesenian, khususnya musik. Pada 2016, Trisutji Kamal meraih Penghargaan Akademi Jakarta. Sebelumnya, ia meraih Bintang Budaya Parama Dharma (2010), dan Anugerah Yayasan Pendidikan Musik (2012).
“Saya pribadi yang tidak terlalu ambisius. Namun punya cita-cita untuk memiliki bahasa musik yang unik agar dapat mencerminkan latar belakang akar budaya Nusantara di mana saya dilahirkan agar karya-karya dapat diterima di mana saja."
"Saya bersyukur sebagai orang Jawa dibesarkan di Binjai di lingkungan budaya Melayu, Batak, Islam dan etnik Tionghoa yang cukup kental,” kata Trisutji, di TIM Jakarta saat memberi sambutan pada malam penghargaan itu.
Pada Malam Penghargaan itu pun dilanjutkan dengan menyajikan beberapa karya Trisutji. Pada komposisi Nocturne untuk piano solo; dicipta tahun 1955 di Paris, yang dimainkan oleh pianis Hazim Suhadi beberapa kali terdengar nada-nada pentatonis bagaikan gamelan Jawa yang berlari menyela dominasi nada-nada khromatis Eropa seakan menyatakan: “Hai, aku ada!”
Lengkingan Soprano Aning Katamsi yang menggedor hati; diiringi pianis Ratna Katamsi yang membawakan karya vokal Aku, dari puisi Chairil Anwar seakan menegaskan keberpihakan dan keyakinan Trisutji bahwa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika pasti..., hidup seribu tahun lagi!
Komposisi untuk Tanah Air
Trisutji Kamal adalah komponis perempuan pertama yang membawa dan mengangkat musik klasik Indonesia ke kancah dunia. Sebagai pianis, Trisutji Kamal tidak hanya piawai memainkan musik-musik klasik tetapi juga cerdas dalam menerjemahkan gagasannya dalam sebuah komposisi musik yang harmonis, canggih dan menyihir.
Segalanya tentu tidak sekali jadi, tidak datang dari langit. Ada proses panjang perjuangan yang melatarbelakanginya dan visi serta tekad yang melatardepaninya. Mula-mula dibentuk oleh pendidikan keluarga dan latar belakang budaya Jawa yang melahirkannya.
Tetapi masa kecilnya di luar rumah, ikut pula mempengaruhi dan mewarnai cara pandangnya dalam memaknai keberbagaian budaya. Pertumbuhan pada masa-masa sekolahnya yang dikepung kultur Melayu dan Batak, telah menjadikannya seorang multikulturalis yang memberi tempat yang sama dalam sikapnya memberi penghargaan pada kultur lain.
"Sikap budaya itulah yang kemudian coba diwujudkan dalam komposisi musik,” kata Maman Mahayana, penulis kritik sastra.
Pergulatan Musik, Kreator dari Keluarga Ningrat
Kanjeng Raden Ayu (K.R.A.) Trisutji Kamal binti Djulham Suryodiprojo lahir di Jakarta, 28 November 1936 dari keturunan keluarga ningrat di Jawa yang menggemari kesenian. Ayahnya adalah seorang dokter sekaligus pemain biola dan pelukis amatir.
Trisutji sudah menunjukan bakatnya sebagai komponis sejak usia 7 tahun. Ketika menetap di Binjai, ia belajar piano klasik dan mulai menciptakan karya musik untuk piano pada usia 14 tahun. Kemudian, ia melanjukan pendidikan musik di beberapa negara, yaitu Amsterdam, Ecole Normale de Musique di Paris dan Santa Cecilia Conservatory di Roma.
Trisutji belajar piano dan komposisi kepada Henk Badings, komponis Belanda kelahiran Bandung dan Boris Blacher, komponis Jerman. Berbekal pengalaman dan pendidikannya di Eropa, Trisutji kembali ke Indonesia dan turut serta dalam mengembangkan seni kontemporer di Indonesia.
Pada 1968, ia juga terlibat dalam pendirian Taman Ismail Marzuki sebagai ikon seni kontemporer Indonesia. Selanjutnya, ia menjadi salah satu dosen musik pertama saat awal pembentukan Institut Kesenian Jakarta.
Trisutji adalah komponis perempuan Indonesia pertama yang menekuni musik kontemporer secara profesional. Ia banyak menulis komposisi untuk bidang perfilman yang menjadi satu-satunya wadah bagi komponis musik kontemporer kala itu. Beberapa karya musik film Trisutji yang terpenting ialah “Apa Yang Kau Cari Palupi”, ”Lewat Tengah Malam”, dan “Jangan Ambil Nyawaku”.
Selain itu, Trisutji juga menciptakan karya musik untuk konser, misalnya “Gunung Agung” (1963), karya ansambel kecil perpaduan piano, cello, flute, kendang Bali, timpani dan perkusi. Karya ini menjadi salah satu momen penting dalam proses kreatifnya, khususnya penggunaan konsep tangga nada pentatonik gamelan.
Pada tahun 1990, karya-karya Trisutji mengembangkan karya musik kontemporer Islam yang berakar pada budaya Indonesia. Salah satu karya yang ia hasilkan ialah “Persembahan” (1992) ansambel musik kamar dan koor.
Tahun 1994, Trisutji mendirikan sebuah ansambel kecil yang khusus memainkan karya-karyanya. Sebagai komponis, ia sangat produktif menelurkan karya dan mementaskannya hingga kancah internasional. Ratusan karyanya telah direkam ke dalam bentuk album musik, terutama karya-karya piano solonya.
Pada tahun 2006, ia merilis album yang berjudul “Complete Piano Works Series” yang memuat karya-karyanya pada tahun 1951-2006.
Satu catatan menarik, dua karya Tri Suci Kamal yakni Con More dan Fantasia Bungong Jeumpo yang dibuat berdasarkan lagu dari Nanggroe Aceh Darussalam pernah ditampilkan secara indah oleh Ubiet, penyanyi serius asal Minangkabau yang isteri penyair Nirwan Dewanto. Perpaduan vokal dan permainan piano Ananda Sukarlan begitu memukau sekitar seribu penonton yang hadir pada acara tahun baru 2020.
Catatan menuju Kreativitas
Maman Mahayana memberikan komentar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kamis 29 Desember 2016 dalam acara Penyerahan Penghargaan Akademi Jakarta. Maman Mahayana kali ini didapuk sebagai ketua dewan juri dengan anggota Karlina Supelli, Carla Bianpoen, Mudji Sutrisno dan Nirwan Dewanto.
Dengan kesadaran budaya yang unik dan beragam itulah, Trisutji Kamal mencoba mewujudkan dalam sejumlah karyanya, antara lain, mengeram dalam Sunda Seascapes, Persembahan, Indonesian Folk Melodies dan Balinese Percussion.
Dalam karyanya yang lain, Trisutji juga coba menciptakan komposisi musik lewat usahanya menerjemahkan Spiritualitas Islam Kejawen dalam penyatuan aku dan Sang Khaliq yang lebur dalam manunggal ing kawula Gusti. Belakangan, masuk pula nafas Islam selepas ia menunaikan ibadah haji.
Selamat jalan, Ibu yang kreatif, menuju Keindahan Abadi di sisi Sang Khaliq.