Trilara Gowes Ribuan Kilometer Sendirian untuk Meditasi
Trilara Prasetya Rina, cyclist asal Denpasar Bali ini jatuh cinta pada sepeda sejak 2016. Dalam tiga tahun petualangannya dengan sepeda telah membawa dirinya berkelana ribuan kilometer dengan kayuhan pedal dan kekuatan kakinya.
Ketua Women Cycling Community (WCC) Bali ini sangat antusias ketika diajak ngobrol di LaPlaya café di kawasan Pucang Anom Timur Surabaya. Dia bersama lima perempuan tangguh WCC Bali sedang transit di Surabaya. Dalam perjalannya ke Bali dari Jakarta program 1.000km for Bali Pulih.
“Sejak 2015 partner saya mengajak gowes jarak jauh. Kami sudah mempersiapkan segalanya. Termasuk beli sepeda turing merek Koga. Juga tas panniernya.,” buka Lara, panggilan akrabnya.
Tapi, manusia merencana Tuhan menentukan. Tahun 2015, partner Lara meninggal dunia. Seperti kehilangan arah dan tujuan hidup, Lara sempat galau. Lantas, diputuskannya untuk melakukan meditasi.
“Ada guru spiritual dari India yang membuka kelas meditasi di Bogor. Jadi selama sepuluh hari benar-benar hening dan pencarian dari dalam diri sendiri. Tidak boleh kontak mata dengan orang lain. Tidak boleh ada alat komunikasi. Ngobrol pun dibatasi,” jelasnya.
Di dalam meditasinya, Lara menemukan “jalan hidup” dan tujuan baru. “My miles my meditation”. Jarakku adalah meditasiku. Artinya gowes jauh merupakan meditasi dan menciptakan ketenangan dalam hidupnya.
Langsung, tahun 2016 itu, Lara mengeksekusi turing meditasi pertamanya. Tekadnya hanya satu, harus menjalani lebih dari 1.000 km. Dicari-carilah rute.
Akhirnya, ketemu rute dari Denpasar, Bali menuju Jawa Tengah dan kembali ke Bali. “Berangkat dari Denpasar lalu masuk Jawa Timur, saya lewat Malang lantas turun lewat jalur pantai selatan hingga masuk Jawa Tengah ke Solo Jogja lantas naik ke atas Semarang dan balik lagi ke Bali lewat jalur Pantura,” tuturnya.
Turing ini dilakoni sendirian! Total jarak 1565 km! Dengan sepeda turing lengkap dengan tas. Sepeda dan segala perlengkapan itulah yang telah disiapkan berdua dengan almarhum partner. Akhirnya hanya Lara sendiri yang menggunakannya.
Puas solo turing selama 16 hari, Lara sampai di Denpasar, Bali lagi. Serasa ada semangat dan semangat baru. Perempuan 49 tahun ini kembali bekerja di persewaan playground anak-anak. Yang sekali lagi, dirintisnya bersama sang almarhum partner.
Waktu berjalan, aktivitas gowespun berjalan. Belum punya komunitas, jadi gowes pun sendirian. Tak terasa, enam bulan telah lewat dari solo turing Bali-Jateng itu. Tahun pun telah berganti, 2017.
“Saya seperti sakaw. Rasanya pingin gowes jauh lagi. Lama-lama tak tertahankan. Saya cari rute. Maunya Sulawesi tetapi saya sudah pernah ke daerah Palu dan sekitarnya. Pilih Kalimantan karena belum pernah,” bilangnya.
Tak tanggung-tanggung. Kali ini, 2.000 km! Lara terbang dari Denpasar ke Pontianak, Kalimantan Barat. Lantas perjalanan dimulai dengan sepeda turing Koga dari Pontianak menuju Bontang, Kalimantan Timur. Lalu naik pesawat balik ke Denpasar via Balikpapan.
Total hampir sebulan Lara melakukan meditasi on bike ini. “25 hari saya gowes Borneo,” tuturnya.
Lara mengaku gowes turing ini bukan untuk pembuktian atau kesombongan diri. Tapi lebih pada untuk meditasi dan pencarian jati diri dalam kesunyian dan keheningan.
“Saat turing Kalimantan itu jalanan aspal semua mulus. Tapi sangat sepi! Jadi saya bisa dengar tarikan nafas saya sendiri saking sepinya,” tutur Lara yang selalu mencari kota transit yang ada tempat penginapannya.
Pulang ke Denpasar, Lara kembali pada rutinitasnya menjaga persewaan playground anak-anak itu. Tak lama kemudian, 2018, Lara dihubungi oleh Yayasan Kebun Raya Indonesia.
Jadi dirinya mewakili Bali untuk gowes “Jelajah Bumi 1.000 km Jakarta ke Surabaya”. Tujuan gowes ini adalah untuk misi save mangrove se-Indonesia. Waktu itu, Lara baru pulih dari cedera punggung bawah.
Jadi gowes Jakarta–Surabaya dijalaninya dengan mountain bike. “Sebenarnya saya sudah kenal road bike, tapi karena masih pemulihan jadi play safe saja pakai MTB,” tukasnya.
Akhirnya, sepanjang 2019 Lara berhenti bersepeda demi pemulihan maksimal dari cedera punggung bawahnya itu. Awal 2020, Lara membuat gebrakan dengan meluncurkan program online mencari “100 wanita inspiratif” dari kalangan WCC (Women Cycling Community) Nusantara se-Indonesia.
“Gara-gara pandemi tidak bisa gowes, tapi tetap saya ingin menggerakkan WCC lewat program media sosial ini,” jelasnya.
Pandemi tak kunjung usai, Bali kian memprihatinkan. Lara kembali tergerak. Dibuatlah gowes mulia “1.000 km for Bali Pulih”. Menggandeng lima cyclist perempuan WCC Bali, Lara akan gowes dari Bali ke Jakarta.
Tapi saat bertemu dengan Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Ardana Sukawati, perencanaan berubah. Gowesnya dibalik, dari Jakarta ke Bali. Dengan tujuan mempromosikan Bali di sepanjang perjalanan agar orang mau berlibur ke Bali lagi.
Dan alhamdulilah perjalanan misi sosial ini mendapat sambutan dan dukungan dari berbagai pihak sponsor seperti Pemprov Bali, Pemkot Denasar, PB ISSI, Bank BPD Bali, Milk Life, The Body Shop, Roda Jaya Colnago Bali, ASC Gowes, Qoala Plus, Frui, Amidis, dan lainnya. Dan Lara bersama kawan-kawan finis 14 November disambut oleh Walikota Denpasar, Bali.
Selesai? Tidak, pengguna sepeda Specialized Amira ini sudah merencanakan perjalanan turing 1.000 km lainnya!
“Tahun depan sudah ada kementerian yang tertarik membuat gowes perempuan sejauh 1.000 km lagi. Kami masih rahasiakan karena belum final semuanya,” tutur Lara.
Lara sangat ingin mengedukasi bahwa gowes turing ini memang terlihat jaraknya spektakuler dan “mengerikan”. Tapi bila dijalani dengan strategi dan perencanaan matang tidak akan menyiksa.
“Malah sangat bisa dinikmati. Karena kita tidak bermain speed sama sekali. Yang penting tahan lama, tidak mementingkan kecepatan. Jadi jangan kaget bila kami masih tetap segar dan semangat ketika disambut oleh WCC tiap-tiap region,” tutup Lara sambil menyeruput minuman hangat red velvet andalan LaPlaya Café ini.
Advertisement