Trenggalek masih Seperti yang Dulu
Trenggalek memang bukanlah Banyuwangi. Trenggalek tidak memiliki bupati se Dasyat Abdullah Azwar Anas. Bupati Trenggalek, Emil Dardak memang tak kalah mudanya. Bahkan lebih milenial di sisi gaya dan usia dibanding Anas. Namun, Trenggalek tetaplah bukan Banyuwangi.
Jika pada dua tahun pertama memimpin, Anas berhasil menghidupkan potensi wisata. Trenggalek tampaknya belum. Memang gebyarnya luar biasa. Sebagai orang asli Trenggalek yang tinggal di Surabaya, saya tahu betapa promosi Trenggalek luar biasa.
Namun Trenggalek, ketika saya mudik libur akhir tahun 2018 ini, tetaplah seperti dulu, sepi dan sulit menemukan orang luar kota jalan-jalan di kota Menak Sopal ini.
Coba kita bandingkan dengan Banyuwangi, ketika Anas baru dua tahun memimpin. Taman Nasional Baluran, tiba-tiba dikenal sebagai little Africa, orang yang dulu menganggap Baluran hanya kandang banteng dan angker, kini mereka rela untuk menginap di hutan-hutan itu.
Kawah Ijen yang dulunya hanya kita lihat sebagai kawasan tambang belerang, kini tiba-tiba memori kolektif publik mengenalnya dengan pesona blue fire.
Begitu juga pulau merah. Jika dulu hanya dikenal karena berdekatan dengan tambang emas Tumpang Pitu. Kini tambang emas seakan ditenggelamkan dengan kedahsyatan pulau memerah dan hamparan pasir putihnya.
Hanya butuh waktu dua tahun bagi Anas untuk membangunkan kota Santet itu menjadi kota sejuta pesona.
Banyuwangi memang beruntung karena dianugrahi kekayaan alam yang luar biasa, yang menunjang sektor pariwisata. Banyuwangi tidak perlu membangun pusat rekreasi untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan lokal dan asing, karena alam sudah menyediakannya.
Begitu juga Trenggalek. Alam sebenarnya juga menyediakan pesona yang tak kalah dengan Banyuwangi. Trenggalek punya puluhan pantai yang membentang di tiga kecamatan mulai dari Kecamatan Watulimo, Munjungan, hingga Panggul yang berbatasan dengan Pacitan.
Pantai Prigi, Pasir Putih, Pantai Karanggongso, hingga ke Pantai Blado, Pantai Pelang dan Konang juga memanjakan keindahannya. Belum lagi, Trenggalek juga punya Goa Lowo yang legendaris.
Namun kenapa meski nama-nama pantai di Trenggalek tak kalah tenar dengan Banyuwangi, toh faktanya pengunjungnya tak se berjubel Banyuwangi?
Soal jor-joran iklan, mungkin tak kalah dengan Banyuwangi. Karena di beberapa media online nasional, Trenggalek bahkan mengkapling rubrik khusus Trenggalek. Namun sebagai warga Trenggalek, saya merasakan betul bagaimana Bupati tetaplah berjarak.
Banyuwangi merasa Anas adalah orang lokal yang mudah berbaur. Namun di Trenggalek, sang bupati memang kadang suka Blusukan namun tetaplah berjarak, tak selues Anas.
Masyarakat Banyuwangi terlibat dengan suka cita. Mereka membangun sentra-sentra UMKM. Sedangkan di Trenggalek, jangankan masyarakat membangun sentra UMKM, wong UMKM yang sudah ada-pun tak bisa berkembang.
Kenapa? Jawabannya tentu pola pikir warganya yang belum merasa senasib. Bupati seolah-olah adalah tokoh dari antah berantah yang jatuh tiba-tiba ke Trenggalek.
Di beberapa sentra UMKM, wajah ayu Arumi Bahsin, istri bupati yang artis itu, memang banyak mejeng. Namun hanya simbolik, sedang ruh pemberdayaan belum benar-benar dirasakan.
Di sentra anyaman bambu Wonoanti, Gandusari, Trenggalek misalnya. Mereka telah mendapat banyak jatah pameran ke berbagai tempat, namun tetaplah simbolik. Kalaupun ada permintaan baru dari pasar luar kota, tetaplah tak bisa melayaninya.
Ketika saya masih kecil, desa Wonoanti yang tak jauh dari Bukit Banyon, sebuah bukit yang kini dikenal sebagai "negeri di atas awan" itu, dulunya dikenal sebagai kampung bola takraw. Warga di sini rata-rata pengrajin bola takraw.
Sayang gempuran bola takraw plastik impor dari China meruntuhkan mereka. Kini hanya tinggal beberapa perajin bambu yang bertahan hidup.
Salahsatunya milik Pak Sukatno. Usaha Pak Sukatno memang masih bertahan karena memiliki modal yang cukup dibandingkan tetangga sekitarnya. Bahkan saat orde baru, Sukatno dengan kerajinan "Bambu Indahnya" dapat Penghargaan Pemuda Pelopor Nasional Penciptaan Lapangan Kerja dari Presiden Soeharto pada tahun 1992.
Kini Sukatno mengaku banyak dibawa Pemda berkeliling. Namun tanpa ditopang tetangganya, dia tetaplah bukan siapa-siapa. Produknya hanya mampu melayani permintaan dalam kota. Banyak permintaan dari luar daerah namun tak bisa dilayani.
Ya begitulah salah satu potret Trenggalek, Kenceng di promosi namun keteteran di produksi, karena warganya tak digerakkan. Bahkan banyak juga UMKM mati suri yang dipromosikan sehingga ketika ada wisatawan yang berkunjung maka hanya kekecewaan yang akan didapatkan.
Ada juga di Kecamatan Durenan. Sebuah desa sudah diplot sebagai pusat kerajinan yang dilengkapi dengan plakat segala. Faktanya di situ hanya ada satu pengrajin topi. Itupun hanya sekala kecil.
Kehadiran kepala daerah berusia muda, artis dan penuh inovasi, menjadikan kabupaten Trenggalek kini memang cukup dikenal. Banyak harapan digantungkan. Sayangnya, gencarnya promosi yang dilakukan belum dibarengi dengan upaya menggandeng warga ikut bersama memajukan daerah.
Jadi jangan terlalu bersemangat untuk memimpikan Trenggalek seperti Banyuwangi. Anas mampu membangun Banyuwangi karena Anas tak lahir dari dunia antah berantah. Anas lahir dan besar di Banyuwangi. Anas mampu mengajak warganya ikut merasakan dan bangkit bersama. Sentra-sentra UMKM-pun kini maju pesat seiring dengan pesatnya pesona wisata alam di Banyuwangi.
Berbeda dengan Trenggalek, sang Bupati memang memiliki visi yang luar biasa. Di Kecamatan Pule, tepatnya di Desa Kasrepan, sebuah wilayah yang dikenal dengan suhu ekstra dinginnya, kini dibangun beberapa gazebo. Namun entah apa tujuannya, yang pasti, Gazebo itu berjarak dengan warganya. Sehingga warga yang mayoritas hanya petani cengkeh ini merasa tak memiliki dan takut untuk sekadar nangkring ngobrol santai di Gazebo itu.
Ya begitulah Trenggalek. Bung Hatta pernah mengatakan "Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tak pernah diberdayakan pemimpinnya". (man)