Tren Kekerasan Pada Anak di Banyuwangi Turun 5 Tahun Terakhir
Kekerasan terhadap anak di Banyuwangi sudah berada dalam taraf yang mengkhawatirkan. Namun secara umum sebenarnya terjadi penurunan angka kasus kekerasan terhadap anak selama 5 tahun terakhir.
Data dari Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (Dinas Sosial PPKB) Banyuwangi, dari tahun 2018 hingga Oktober 2022, jumlah kasus kekerasan terhadap anak terus mengalami penurunan. Tahun 2018 tercatat ada 64 yang menjadi korban kekerasan, angka ini turun menjadi 36 anak pada tahun 2019.
Selanjutnya pada tahun 2020, angka kekerasan terhadap anak mengalami sedikit kenaikan menjadi 41 anak. Ditahun 2021 kembali terjadi penurunan menjadi 33 anak. Sedangkan di tahun 2022 hingga bulan Oktober tercatat 21 anak menjadi korban kekerasan.
Kepala Dinas Sosial PPKB Banyuwangi, Henik Setyorini menyatakan, pihaknya berkomitmen untuk melakukan pendampingan kepada anak korban kekerasan. Khusus untuk anak yang mengalami kekerasan seksual pihaknya melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) setiap saat selalu hadir untuk anak yang menjadi korban kekerasan. “Di saat ada kejadian teman-teman P2TP2A bersama Polres langsung turun,” jelasnya.
Tim dari P2TP2A langsung melakukan asesmen berkaitan dengan kebutuhan anak yang menjadi korban. Mulai pendampingan saat visum, pemeriksaan hingga pendampingan secara psikis. “Dia butuh pendampingan atau rujukan apa kita layani. Rujukan apa yang dia butuhkan kita akan dampingi,” tegasnya.
Dia juga menjamin anak-anak yang menjadi korban kekerasan tetap bisa bersekolah. Menurutnya, anak-anak tidak boleh putus sekolah. Dia menegaskan, pihaknya bersama Dinas Pendidikan Banyuwangi sudah berkomitmen memastikan anak-anak korban kekerasan tetap bisa bersekolah.
“Kita bersama Dinas Pendidikan dan Cabang Dinas Pendidikan Provinsi sudah berkomitmen untuk sekolah wajib tetap menampung anak yang menjadi korban kekerasan seksual,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Banyuwangi, Suratno menegaskan, anak yang menjadi korban ataupun melakukan kekerasan tidak boleh dikeluarkan dari sekolah. Sebab, sekolah menurutnya merupakan lembaga pendidikan yang di dalamnya harus ada unsur pendidikan, pembinaan dan perbaikan.
“Kalau ada anak yang menjadi korban atau melakukan kekerasan apakah boleh dikeluarkan dari sekolah? Tidak boleh, saya tegas menjawab, tidak boleh,” ujarnya.
Dia menyebut, sekolah itu ibarat bengkel. Tugas guru adalah memperbaiki bukan hanya pabrik yang dalam tanda kutip mencari siswa yang baik-baik saja kemudian dididik supaya sekolahnya baik. Jika ada aspek hukumnya, lanjutnya, biar ditangani pihak APH (aparat penegak hukum).
“Tidak seperti itu. Maka kami mengecam keras kalau ada sekolah yang mengeluarkan anak-anak yang melakukan kekerasan atau korban pelecehan seksual,” katanya.
Jika ada sekolah yang mengeluarkan anak korban kekerasan seksual atau anak pelaku kekerasan akan diberikan pembinaan keras terhadap Kepala Sekolah dan gurunya. Apalagi anak yang jadi korban. Dia menegaskan anak harus dilindungi, lingkungannya harus diedukasi termasuk trauma healing-nya. “Sampai mereka benar-benar punya situasi psikologis yang normal kembali dan dia bisa hidup seperti sedia kala,” tegasnya.
Advertisement