Trauma Kebakaran, Pedagang Kampung Lontong Pilih Gas PGN
Tumpukan keranjang berisi lontong berjajar di ruangan ukuran 5x3 meter. Masih teringat jelas kenangan dapur yang hampir dilalap si jago merah di benak Sampun. Kejadian pada tahun 2016 itu hampir saja membungihanguskan rumahnya. Sampun yang merupakan pengusaha lontong kala itu masih menggunakan gas LPG.
Gas sudah ditata berjarak 4 meter dari kompor. Namun, lantaran Sampun saat itu terburu-buru, dia tidak sengaja membuat selang karbulator LPG bocor.
“Saya nggak sengaja nyeret selang gas LPG, ternyata selangnya bocor. Lalu timbul kobaran api, akhirnya saya memanggil tetangga terdekat. Untung api bisa padam setelah ditutup karung goni yang sudah direndam air,” kata Sampun saat ditemui di rumahnya di Banyu Urip Lor gang 11, Surabaya pada Senin, 31 Agustus 2020.
Kejadian di luar dugaan tersebut memaksa bapak dua anak ini membuang 2000 biji lontong yang siap dipasarkan. Sampun yang saat itu masih trauma tidak memiliki pilihan lain. Beruntung, keluarga dan harga bendanya masih bisa diselamatkan.
Sejak kecelakaan tersebut Sampun trauma menggunakan gas LPG. Untungnya, pada tahun 2017, masuk Perusahaan Gas Negara (PGN) melalui jaringan gas. Bagi Sampun, jaringan gas ini lebih aman dan menghemat tenaga. Sampun tidak harus mengecek lontong setiap satu jam sekali. Bapak dua anak itu bahkan tidak perlu repot mengangkat dan memasang ulang tabung.
“Pakai gas PGN ini lebih aman, kalau dulu pakai LPG setiap satu jam harus memastikan kompor aman. Sekarang bisa saya tinggal melakukan aktifitas lain. Saya juga gak perlu repot bongkar pasang tabung, menghemat tenaga sekali,” ujar Sampun seraya merapikan bungkusan lontong.
Sebelum menggunakan jaringan gas PGN, setiap 5 jam ia harus mengganti tabung yang habis. Untuk memasak lontong butuh waktu 8 jam. Sampun tidak bisa melakukan aktivitas lain lantaran harus memastikan gas LPG dalam kondisi aman.
Senada dengan Sampun, pedagang lontong yang lain Ida Astutik mengaku sangat beruntung menggunakan jaringan gas PGN. Karena selain aman, juga bisa hemat. Sebelumnya, Ida menggunakan gas LPG hingga bertahun-tahun. Ida memutuskan beralih ke gas PGN setelah hampir 3 kali rumahnya terbakar.
“Saya pakai PGN karena lebih aman. Dulu setiap malam pas masak lontong pakai LPG dan kami tinggal tidur. Kami tidak mendengar ada suara gas, beruntung ada yang tahu. Gas LPG-nya langsung diamankan. Kejadian yang sama berulang tiga kali," kata Ida Astutik.
Ditemani sang suami, Ida menambahkan, kendati pandemi pada masa new normal atau normal baru Ida bisa memproduksi 1.200 lontong. Lontong ini dijualnya di Pasar Sepanjang, Sidoarjo dan Pasar Mangga Dua.
Setiap harinya waktu memasak lontong sejak pukul 16.00 hingga 24.00 WIB. Ida pun bersyukur, kejadian yang hampir membakar rumahnya tidak menelan korban jiwa. Atas pertimbangan keamanan Ida lantas memilih gas PGN.
“Gas PGN itu bisa ditinggal aktivitas lain, jadi aman. Saya juga bisa tidur nyenyak,” katanya.