Transisi Damai di Amerika?
Oleh: Andi Mallarangeng
Akhirnya Presiden Trump menjanjikan akan adanya "orderly transition" di Gedung Putih pada tanggal 20 Januari nanti. Walaupun dia belum memberi selamat kepada Presiden Terpilih Biden, tapi Wapres Mike Pence telah memberi selamat kepada Kamala Harris sebagai Wapres Terpilih.
Presiden Trump dijadwalkan akan meninggalkan Gedung Putih pada tanggal 20 Januari nanti. Artinya, dia tidak akan berusaha bertahan di Gedung Putih, seperti sempat dirumorkan. Namun, kabarnya dia akan meninggalkan Gedung Putih sebelum pelantikan Presiden Biden, dan tidak akan menghadiri pelantikan tersebut. Ini tidak sesuai dengan tradisi politik AS, yaitu Presiden lama menghadiri pelantikan dan memberi selamat kepada presiden baru. Setelah itu, barulah presiden lama meninggalkan Gedung Putih.
Sementara itu, Gedung Putih dan Capitol Hill dijaga ketat. Ada lebih dari 20 ribu tentara dikerahkan untuk berjaga di Washington DC, ibukota negara AS. Jumlah ini tiga kali lipat dari total jumlah tentara AS yang dikerahkan di Afghanistan, Irak, Suriah dan SomaIia. Ini karena di AS, semua orang berhak memiliki senjata, dan jika sebagian pendukung Trump masih terus memprotes lalu menggunakan senjata, maka memang harus tentara bersenjata lengkap yang harus menghadapinya.
Tapi ini juga wajah buruk demokrasi di Amerika. Ironis, Amerika yang dikenal sebagai champion of democracy harus mempertahankan demokrasinya dengan senjata terhadap sebagian rakyatnya sendiri. Persis seperti di banyak negara berkembang yang sedang belajar berdemokrasi. Ketika demokrasi harus dipertahankan dengan senjata, itu tandanya ada masalah dengan demokrasi di negara tersebut.
Saat belajar Ilmu Politik di Amerika, mata kuliah Political Development biasanya membahas negara-negara sedang berkembang dalam proses demokratisasi. Sekarang, rasanya mata kuliah itu harus juga membahas demokrasi di AS.
Make America United Again, tampaknya harus menjadi prioritas Presiden Biden. Menarik kembali ke tengah masyarakat AS yang terbelah perlu menjadi arah utama kebijakan Biden. Ini akan sangat membantu healing process di Amerika.
Sudah agak terlambat menawarkan posisi Menhan dan Menpar kepada Trump dan Pence. Tapi kebijakan yang bernuansa tengah akan membantu proses pemulihan dari keterbelahan, ketimbang memuaskan pendukung Demokrat yang berada di sayap kiri spektrum politik. Biden dan menteri-menterinya harus bersedia engaged dengan media sayap kanan agar kaum konservatif Amerika bisa mendapat imbangan informasi tentang kebijakan pemerintah.
Lebih bagus lagi jika Presiden Biden bisa mendorong elit Partai Republik yang moderat, untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Trump. Tapi melakukan impeachment kepada Trump seminggu sebelum dia turun agak berlebihan. Itu hanya akan memperkeras sikap pendukungnya yang lebih dari 70 juta pemilih, untuk melakukan balas dendam politik nantinya. Lalu, persis seperti cerita silat, politik AS akan terus diwarnai dengan dendam tak berujung antara kaum konservatif sayap kanan dengan kaum liberal sayap kiri.
Mungkin saatnya Politik Amerika belajar ke Indonesia. Terutama dengan pepatah Jawa: "Ngono yo ngono, ning ojo ngono."
* Andi Mallarangeng, doktor bidang ilmu politik lulusan Northern Illinois University.
Advertisement