Transformasi Sidoarjo di Bawah Gus Muhdlor
Sudahlah yang muda pasti lebih baik. Ini yang menjadi keyakinan saya sejak dulu. Karena itu, yang tua sudah saatnya memberi ruang gerak bagi mereka. Bukan saatnya yang tua merasa menjadi pemilik otoritas kebenaran.
Lihatlah geliat di Sidoarjo. Kabupaten yang berbatasan dengan Surabaya. Ibukota Provinsi Jawa Timur. Yang selama ini hanya menjadi daerah penyangga ibukota di provinsi yang dipimpin gubernur perempuan ini.
Dulu kabupaten ini pernah menggeliat. Banyak inovasi muncul dari kabupaten ini. Bahkan, saat saya mengelola Otonomi Award tahunan, Sidoarjo menjadi langganan juara. Mengalahkan Surabaya.
Sayang prestasi itu mandek untuk beberapa lama. Justru yang muncul banyak berita banjir, jalan rusak serta berlubang, bencana lumpur Lapindo, dan sebagainya. Sangat kurang berita positif bertebaran.
Sampai kemudian terpilih seorang bupati muda. Ahmad Muhdlor Ali, namanya. Putranya kiai besar KH Agoes Ali Mashuri. Pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Bumi Shalawat. Kiai yang sangat disegani di mana-mana.
Semula saya khawatir. Mampukah semuda itu, Gus Muhdlor –demikian ia biasa dipanggil– meningkatkan kemampuan teknokratis sekaligus politiknya? Waktu itu, yang sudah diketahui bersama ia alumni mahasiswa FISIP Unair.
Yang pasti, sejak kecil ia bersentuhan dengan dunia politik. Sebagai putra kiai besar, ia pasti bersinggungan dengan para tokoh nasional maupun lokal yang menjadi santri ayahnya. Atau bersentuhan dengan tokoh-tokoh yang berkunjung ke pesantrennya.
Apalagi, kakak Gus Muhdlor juga seorang politisi. Anggota DPR RI dari Fraksi PKB. Namanya Gus Syaikhul Islam. Bertugas di berbagai komisi. Ia tentu bisa menjadi mentor politik adiknya sekaligus menjadi penghubung dengan pemerintah pusat. Bisa menjadi penarik program pusat ke Sidoarjo yang dipimpin adiknya.
Pasti selama usia perkembangannya, Gus Muhdlor juga aktif berorganisasi. Baik di lembaga-lembaga pengaderan NU maupun lainnya. Pesantren Bumi Sholawat sendiri adalah lembaga yang sangat layak untuk menggembleng kompetensi politis dan teknokratik.
Menurut saya, keberhasilan seorang pemimpin daerah sangat tergantung kepada dua hal tersebut. Kuat hanya dalam satu sisi saja biasanya tidak cukup. Kecuali dia punya power politik yang besar sehingga mampu menggerakkan dan mengendalikan birokrasi penopangnya.
Mengendalikan birokrasi bukan soal gampang. Mereka memiliki rezimnya sendiri. Mereka punya kultur sendiri. Mereka punya berbagai pengalaman dipimpin kepala daerah dengan berbagai latar belakang. Karena itu, sering punya kompetensi melebihi yang memimpinnya.
Tapi tak akan ada loyalitas tunggal dari birokrat. Tak ada loyalitas permanen terhadap kepala daerahnya. Mereka akan loyal kepada sedang berkuasa. Loyal kepada karier birokratnya. Hanya dengan power politik besar biasanya kepala daerah bisa segera memobilisasi birokratnya sesuai dengan misinya.
Saya lihat Gus Muhdlor cukup gercep (gerak cepat) dalam hal ini. Ada banyak program infrastruktur yang sudah bisa dijalankan. Yang tidak jelas nasibnya pada periode kepemimpinan sebelumnya. Juga banyak program baru yang sudah dirilisnya. Yang kelak akan mengubah wajah Sidoarjo.
Banyak kepala daerah yang programnya tak lekas nendang karena tak segera bisa mengendalikan birokratnya. Bukan karena kompetensi politiknya. Tapi karena tak didukung kompetensi teknokratiknya. Sehingga, eksekusi keputusan politiknya sangat tergantung pada birokrat yang menjalankan.
Saya tidak tahu mana yang lebih menonjol dari Gus Muhdlor dalam memimpin Sidoarjo. Tapi setidaknya ia tergolong bupati muda yang suka blusukan. Ia terlihat sering terjun ke lapangan untuk memastikan jalannya program di lapangan. Bahkan, tampak ia bisa mengomentari hal-hal teknis ketika terjun di lapangan.
Ia bisa luwes ketika menghadapi orang biasa. Ia bisa tampak akrab dengan warganya. Namun, dia bisa segera memberi solusi ketika ada persoalan yang dihadapi di lapangan. Basis sosial sebagai putra kiai besar dan kompetensi pribadinya sangat memberi harapan bagi transformasi Sidoarjo ke depan.
Hasilnya sudah mulai bisa dirasakan. Ada jejak langkah kongkret yang sudah dikerjakan. Dalam masa jabatannya yang baru berjalan 2 tahun. Masih cukup waktu untuk terus melahirkan legacy fisik yang bisa dirasakan dan dikenang rakyatnya.
Saya yang bukan orang Sidoarjo merasakan bahwa daerah itu menampakkan jika negara mulai hadir. Ada pembangunan infrastruktur di mana-mana. Bundaran Aloha yang dulu pusat keruwetan mulai digarap. Frontage Road Sidoarjo sudah dikerjakan..
Pekan lalu, saya menyusuri jalan utama Krian-Mojosari. Tampak ada pembangunan jalan fly over di sana. Sepanjang jalan itu juga tampak tumbuh dan ramai. Pasti banyak yang berharap kehadiran bupati muda ini memberi makna lebih.
Sejak dulu, Sidoarjo bisa membuat lompatan besar. Bertransformasi dari kota limpahan Surabaya menjadi kota pendukung utama kota Surabaya. Seperti kota pinggiran Chicago, Amerika Serikat, yang menjadi kota baru yang dihuni para orang kaya baru di sana.
Di tahun 2.000-an, dibangun kawasan properti di subkota Chicago. Di dekat pusat pengembangan teknologi dan informasi di sana. Properti itu berkembang pesat. Isinya para crazy rich, orang kaya baru. Para pekerja IT dan industri digital.
Kawasan sub urban penopang kota Chicago itu menjadi kawasan mahal. Meski setelah disurvei, ternyata para penghuninya tidak puas karena semu orang kaya. Seperti tumbuhnya kawasan Delta Sari antara Surabaya dan Sidoarjo.
Survei itu kemudian merekomendasikan perusahaan propertinya membangun kawasan pekerja tak kaya. Jadi kalau AC rusak, mesin cuci rusak, dan ledengnya rusak tidak susah mencari tukangnya. Saya pernah di kawasan tersebut, saat itu.
Sidoarjo bisa menjadi kawasan penopang seperti kawasan sub urban di barat Chocago itu. Tinggal memperlancar dan memperbaiki akses para komuter. Melebarkan jalan-jalan ke dan dari Kota Surabaya. Apalagi didukung jaringan transportasi publik yang bagus.
Tapi untuk yang disebut terakhir ini tak cukup hanya inisiatif Gus Muhdlor. Alangkah asyiknya kalau transportasi publik untuk para komuter ini langsung ditangani Pemprov Jatim. Biar bisa menjadi legasi yang tak terlupakan dari Gubernur Khofifah Indra Parawansa.
Atau menjadi program bersama antar Walikota Surabaya, Bupati Sidoarjo, dan Bupati Gresik yang sama-sama muda. Kolaborasi ketiganya pasti bisa “memaksa” pusat untuk mewujudkan jaringan transportasi publik untuk komuter yang terintegrasi.
Tapi tampaknya, perlu juga Gus Muhdlor melakukan penghijauan di sepanjang jalan nasional yang masuk Sidoarjo. Biar mengubah wajah kering menjadi lebih sejuk. Cara cepat untuk menciptakan perubahan. Seperti yang dilakukan Tri Rismaharini melakukan tamanisasi.
Tidak perlu seluruhnya. Dimulai dari jalan-jalan utama masuk ke Sidoarjo. Jalan masuk perbatasan dengan Mojokerto, Pasuruan, Gresik dan Surabaya. Kalau perlu gerakkan semangat gotong royong menghijaukan Sidoarjo. Dengan menggandeng ratusan perusahaan yang ada.
Kalau saja 25 tahun lalu saya tahu akan ada bupati seperti Gus Muhdlor, barangkali saya tak akan memaksa harus berumah di Surabaya. Tapi kalau saat itu saya memutuskan tinggal di Sidoarjo, barangkali saya tak akan berpengalaman menjadi Wakil Walikota Surabaya, ha…ha….
Btw, jalan terus Gus. Biar warga Sidoarjo dan sekitarnya mempunyai harapan baru tentang masa depan daerahnya. Masak akan terus menjadi kelas dua. Tak ada salahnya punya mimpi mengalahkan Surabaya. (Arif Afandi)
Advertisement