Transformasi NU
oleh: Hasanuddin Ali
Founder and CEO Alvara Research Center, Jakarta.
(Sambungan dari "Daya Tarik NU)
Dalam berbagai kesempatan saya selalu mengatakan bahwa kenapa NU bisa bertahan hingga kini kuncinya ada pada kemampuan NU beradaptasi dengan segala perubahan jaman. Bila kita baca sejarah NU, maka dengan mudah akan kita temukan bagaimanaa kyai-kyai NU selalu memiliki cara-cara kreatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan agama, bangsa, dan negara dalam setiap momen penting perjalanan bangsa ini.
Ketika berbagai perubahan yang terjadi dikala itu masih lamban, tidak secepat sekarang, proses adaptasi masih bisa dilakukan. Namun ketika dinamika perubahan berbagai aspek kehidupan hari ini terjadi begitu cepat, maka sekedar adaptasi tidaklah cukup. Disrupsi digital dan disrupsi milenial yang terjadi di Indonesia akan berdampak sangat signifikan kepada NU. NU harus melakukan transformasi yang lebih mendasar, membuat lompatan penting untuk menyiapkan generasi NU masa depan.
Bila kita melihat sejarah, NU secara sadar atau tidak sudah pernah melakukan transformasi organisasi yang luar biasa besar, yakni ketika NU memutuskan keluar dari politik dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan dengan kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984. Transformasi NU saat ini juga menjadi sangat relevan dilakukan menjelang usia NU yang sudah satu abad.
Transformasi NU tersebut setidaknya menyangkut tiga hal. Pertama, Transformasi Budaya, Transformasi Organisasi, dan Transformasi Program.
Transformasi Budaya.
Kalau kita perhatikan semua ritual keagamaan yang dipraktekkan oleh nahdliyin berbasis pada budaya komunal yang hidup dilingkungan pedesaan. Budaya komunal ini sejalan dengan ritme industri pertanian. Budaya tahlilan, kenduren, sedekah bumi, ruwatan, dll yang dijallankan oleh sebagian besar warga nahdliyin adalah budaya yang pedesaan.
Sebagaimana kita ketahui bersama kita sekarang ini sudah memasuki industri informasi dan digital yang sering orang sebut sebagai industri 4.0. Di sisi lain komposisi masyarakat Indonesia sudah semakin bergerak kedunia urban/kota, kelas menengah, dan anak muda. Dan bila kita jujur maka bisa kita lihat budaya komunal tadi tidak selaras dengan budaya urban, kelas menengah, dan anak muda.
Trend ini dari waktu ke waktu akan semakin membesar dan warga nahdliyin akan larut didalamnya, karena itu NU sebagai organisasi harus mengantisipasinya.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh NU dalam menghadapi arus perubahan budaya ini? Teladan itu datang dari Wali Songo. Cara berdakwah ala walisongo adalah dakwah yang kontekstual mengikuti perkembangan zaman, karena itu sebagai kelompok yang mengaku sebagai pewaris ajaran walisongo maka NU sudah seharusnya mengikuti bagaimana cara walisongo "bergumul" dengan budaya kala itu.
Hanya saja yang perlu dilakukan NU bukanlah mengikuti produk akhir walisongo, tapi yang lebih penting untuk diikuti adalah cara atau manhajnya. Bila walisongo dulu menggunakan medium budaya saat itu untuk berdakwah, maka NU seharusnya menggunakan budaya saat ini untuk berdakwah.
Transformasi Organisasi.
NU adalah jam'iyah diniyah ijtimaiyah, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, dengan demikian NU tidak hanya organisasi keagamaan semata, tapi juga organisasi kemasyarakatan, artinya segala aspek yang menjadi harkat dan kebutuhan masyarakat harus menjadi tanggung jawab NU.
Organisasi yang baik adalah organisasi yang berorientasi kepada output dan sasaran "pasarnya". Pasar NU adalah warga NU dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ketika mereka berubah maka organisasi NU juga harus berubah.
Organisasi NU kedepan haruslah organisasi yang lebih berorientasi kedepan dan lincah dalam bergerak. Karena itu organisasi NU harus lebih ramping dan tidak terbebani kepentingan politik praktis.
Meski demikian, kekhasan NU sebagai organisasi ulama tidak boleh dihilangkan. Otoritas ulama harus terus diperkuat baik sebagai mercusuar organisasi maupun sebagai penjaga moral organisasi. Manajemen dan tata kelola organisasi yang baik adalah harga mati, mereka harus profesional, akuntabel, dan prudent.
Transformasi Program
Berbagai program yang dilakukan oleh NU kedepan harus berorientasi kepada pelayanan kepada jamaah NU, kehadiran NU harus dirasakan manfaatnya ditengah masyarakat. Selain itu NU tidak boleh hanya terlihat hadir tapi juga harus menjalin hubungan yang intim dengan warganya.
Saya membayangkan disetiap kota atau pusat-pusat keramaian ada semacam NU center yang tidak sekedar menjadi etalase dan pusat informasi ke-NU-an tapi juga menjadi garda depan pelayanan keagamaan dan kemasyarakatan bagi semua lapisan masyarakat.
Bila berbagai kebijakan dan program NU tersebut telah dirasakan oleh masyarakat maka dengan sendirinya cita-cita kemandirian organisasi akan terwujud, karena mereka akan secara sukarela menjadi daya dorong yang kuat bagi NU.
Memang dari berbagai pengalaman sebelumnya, setiap transformasi tidaklah mudah, banyak kerikil tajam, dan seringkali menyakitkan. Perlu niat yang sangat kuat dan konsensus yang sangat kuat dari semua stakeholder NU untuk mewujudkannya.
Terakhir, dengan berbagai penjelesan tadi pilihannya tinggal dua yakni apakah NU harus menempuh jalan terjal melakukan tranformasi agar selaras dengan perubahan zaman terutama untuk menyongsong abad kedua NU atau duduk diam dan meratapi keadaan dan membiarkan NU tergilas roda zaman dan tinggal menjadi jejak-jejak sejarah untuk dikenang.