Transformasi Bonek
Bonek alias bondo nekat memang bukan partai politik. Tapi inilah fandom sepakbola terbesar di Indonesia. Bahkan diklaim terbesar di dunia. Ia dikenal fanatik terhadap klubnya Persebaya. Juga dikenal dengan kenekatannya dalam membela klub kecintaannya. Maka nama bonek indentik dengan karakternya.
Kenekatan bonek sempat melahirkan image kurang baik terhadap kelompok suporter bola ini. Mereka tidak hanya arek Suroboyo. Tapi juga dari daerah sekitarnya. Bahkan sekarang telah ada di seluruh nusantara ada kumpulan bonek. Mereka adalah para perantau arek asli Suroboyo. Juga ada bonek kampus. Bahkan bonek crazy rich.
Image kurang baik? Ya itu dulu. Saat masih sering terjadi keributan antar supporter dan kerusuhan yang dipicu kelompok yang mengatasnamakan bonek. Sampai sering diganggu di beberapa kota setiap bonek balik dari nonton away.
Saya pernah kesulitan memahami cara berpikir bonek. Ketika masih sering bikin ulah. Pernah ketika sudah pasti menang dan juara, kurang beberapa menit bonek masuk lapangan.
Pertandingan dihentikan. Di luar lapangan sejumlah oknum yang mengaku bonek bikin ulah. Membuat warga di sekitar lapangan marah. Gelar juara terpegang. Tapi dinodai ulah sejumlah orang.
Beberapa tahun setelah tidak menjadi Ketua Umum Persebaya, saya didatangi almarhum Wastomi. Dia ketua Yayasan Suporter Surabaya. Mbah-e Bonek. Untuk beberapa waktu lama.
Ia datang untuk minta maaf karena pernah memusuhi saya. Saat saya menginisiasi korporatisasi Persebaya. Menjadi badan usaha setelah tak lagi boleh menerima bantuan dana dari pemerintah.
Lho kok minta maaf? Ya. Ia merasa saat itu diperalat untuk menentang gagasan tersebut. Padahal, ide itu merupakan sesuatu yang niscaya. Ketika bola menuju ke arah industri olah raga.
Gagasan membuat PT Perseroan Terbatas saat itu mental di tengah jalan. Bahkan saya pun akhirnya dilengserkan dari jabatan Ketua Umum Persebaya. Padahal, kalau tak ditentang, Persebaya akan menjadi yang pertama.
Bonek saat itu masih bisa dipolitisisasi. Menjadi alat untuk kepentingan politik seseorang. Untuk menjatuhkan atau mengangkat seseorang. Karena itu, bonek sempat menjadi "partai politik" bola di Surabaya.
Di lapangan, perilaku bonek yang usil masih sering terjadi. Misalnya, saling ejek dan melempari suporter lawan dengan plastik berisi air seni. Apalagi jika melawan musuh bebuyutan seperti Aremania.
Tapi itu dulu. Dulu sekali.
Bonek berhasil melakukan transformasi paling cepat. Bahkan mungkin bersamaan dengan fenomena hilangnya holiganisme di Eropa. Mereka kini menjadi suporter paling setia Persebaya yang mengkota.
Transformasi bonek tak hanya di lapangan. Tapi juga di luar lapangan. Di lapangan, Bonek mampu menunjukkan supporter paling solid dalam mendukung klubnya. Karena itu, stadion tak pernah sepi saat laga. Juga selalu gegap gempita.
Amat jarang keusilan bonek dan membikin ulah di lapangan terulang. Mereka saling menjaga satu sama lain. Saling mengingatkan untuk tertib dan tak membuat ulah agar tak merugikan klubnya.
Jika ada kelompok suporter yang usil melempar penonton lain, mereka langsung teriak: ndeso....ndeso... Inilah sebutan untuk menunjukkan tingkat keadaban sang pelaku.
Dulu, chant-chant Bonek masih mengandung kekerasan verbal. Apalagi untuk menyindir atau menunjukkan kebenciannya kepada kelompok suporter lain yang menjadi musuhnya.
Kekerasan verbal dalam chant-chant maupun yel-yel Bonek di lapangan kini tak muncul lagi. Bahkan tak jarang muncul syair-syair shalawatan di lapangan. Mengesankan dan mengasikkan.
Transformasi ke perilaku yang jauh lebih baik ini tampaknya juga untuk urusan di luar lapangan. Bonek tak lagi bisa menjadi alat politik perseorangan. Seperti dahulu kala.
Meski demikian, Bonek bukannya tidak berpolitik. Ia bisa menjadi kelompok penekan terhadap kebijakan rezim sepakbola yang dianggap tidak adil dan merugikan klubnya.
Bahkan, inilah suporter yang menjadi gerakan politik untuk mengubah kebijakan rezim regulasi bola. Saat, Persebaya tak bisa tampil di liga akibat perseteruan para pemimpin bola di negeri ini.
Bonek sensitif secara politik terhadap kebijakan-kebijakan rezim bola. Tapi rasional dalam pilihan politik lainnya. Mereka tak akan sulit dimobilisasi untuk kepentingan politik seseorang.
Tapi tetap kritis terhadap kebijakan yang menyangkut klub dan pengembangan sepakbola di daerahnya. Mereka bersimpati kepada tokoh yang berjasa kepada klubnya. Sebaliknya bisa antipati kepada tokoh yang merugikannya.
Nah, siapa tokoh yang dianggap berjasa kepada Persebaya dan siapa yang telah dinilai merugikannya? Sssst...jangan bilang-bilang dulu. Masih mau ada coblosan, he...he...