Trans-Budaya, Trans-Pengalaman and Beyond, Catatan Fachry Ali
Perlu waktu hampir sepekan menemukan apa makna konseptual yg menjelaskan secara bermakna puisi penyair Provinsi Jombang, Binhad Nurrohmat ini. Alat tanda halaman buku puisi tipis (batas buku, bungkus rokok batangan dan kertas yang saya ambil di meja) ini adalah indikator ‘perjuangan’ saya memahami ‘Kuil Nietzsche’ ini.
Di dalamnya, saya melihat ‘lompatan budaya’ seorang santri ke dalam dunia Barat yang mendalam. Saya berdesir membaca sajak ‘Yatim di Naumburg’, terutama ketika sampai pada ‘Ayah menyemat Kristus di jubah legam/yang lengannya longgar dan bergoyang.’
Dalam hati saya berucap, alangkah penetratifnya daya khayal Binhad telah melangkah ke dalam budaya lain —yang ia tak alami langsung. Bukankah diri dan latarbelakang budayanya reproduksi langsung dunia pesantren? Bagaimana Binhad bisa melangkah demikian berwibawa ke alam pikiran ‘asing’?
Lalu, sajak ‘Lingkaran Perempuan’-nya mendemonstrasikan lebih jauh ‘perantauan’ kesadaran intelektualnya. ‘Dunia hanyalah sekujur perempuan yang sopan/Mama tercinta, nenek, bibi serta adik perempuan tercinta/Menghibur sepi bocah laki-laki dengan kebersamaan.’ Betul, bahwa Nietzsche menjadi yatim. Tapi, saya baru bisa memahami tradisi keluarga Eropa abad2 lalu, ketika Prof saya di Monash University awal 1990-an ‘memerintahkan’ saya membaca buku-buku, antara ‘lain’, ‘The Emergence of Modern Familiy’.
Tapi, Binhad menjelajah lebih dalam. Ia membaca otak dan kinerja kesadaran Nietzsche dengan melihat ‘lembaga2 sosial’ Eropa kala Nietzsche kecil: gereja dan sekolah. Dalam ‘Yatim di Naumburg’, Binhad ‘berceloteh’ dengan pintar: ‘Bunyi piano pertama bagi bocah/terdengar selunak firman basah/dan ketukan ttg jemari ayah.’
Ini tampak berkaitan dg sajak ‘Santo Kecil’, di mana Binhad berkata: ‘Genta gereja berdentang di darah/dan ke penjuru langkah bergema.’ Dan transformasi kesadaran itu terjadi di sekolah. Dlm sajak ‘Tuhan di Sekolah Dasar’, Binhad membisik: ‘Di papan hitam di sekolah dasar setiap hari/Tuhan dan angka berulang hadir dan pergi.’
Kita tahu ujung deklarasi Nietzsche terkenal kemudian. Tapi, pergumulan awal sejak bocah, antropologi keluarga dan ‘antropologi Tuhan’ dlm struktur pengalaman Nietzsche, tak kita peroleh dengan mudah. Di atas itu, dengan ‘indah’. Kemudahan dan keindahan itu kita peroleh dari ‘sajak biografi intelektual’ Binhad Nurrohmat ini. Seorang penyair dari Propinsi Jombang —yang bermandikan budaya santri totok.
Advertisement