Tragis di Angka 287
287 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu 2019, meninggal dunia. Angka ini dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Minggu, 28 April 2019. Tragis.
Tentu kita turut sedih, kalau Pemilu ini sudah dianggap endemi. Melahirkan kematian masal. Bisa jadi, jumlah korban meninggal bisa terus bertambah. Pasalnya, anggota KPPS yang terbaring sakit mencapai 2.095 orang.
Dulu, Wakil Presiden Jusuf Kalla, di beberapa kesempatan, sempat bangga. Pemilu kita selalu aman, tidak ada korban jiwa. Memang, di banyak negara, tercatat tingginya kematian karena kekerasan imbas Pemilu.
Tapi, faktanya, Pemilu di Indonesia kali ini melahirkan korban jiwa. Banyak sekali. Yang jumlahnya melebihi korban kecelakaan Lion Air JT 610 yang jatuh di Karawang, pada 29 Oktober 2018.
Pertanyaan penting, kenapa ini bisa terjadi? “Kelelahan,” jawab Arya, dosen salah satu universitas swasta di Jakarta yang juga jadi anggota KPPS. Itu penyebab utamanya.
Memang, Pemilu kita kali ini, mencatatkan banyak rekor. Pelaksanaannya cuma satu hari, tapi masalahnya, pemilu kita terhitung paling rumit. Bahkan terkompleks seluruh dunia.
Di Indonesia, dari 17.000 pulau, terdaftar 192,8 juta orang pemilik hak suara. Lebih dari setengahnya berusia 40 tahun ke bawah. Kitalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Setelah India dan Amerika Serikat
Untuk pemilihan presiden langsung, kita terbesar di dunia. Di AS, terdapat sistem pemilihan tidak langsung. Pemilu di India jumlah pemilihnya lebih besar. Tapi, diadakan relatif santai. Selama enam minggu.
Sedangkan di Indonesia, sebaliknya. Pertama kali, pilpres dan pilleg diadakan bersamaan. Ini artinya, di 809.500 TPS, pemilih harus mencoblos lebih dari 250.000 kandidat untuk 20.538 kursi legislatif, di lima tingkat pemerintahan.
Waktunya? Pendek sekali. Hanya enam jam.
Waktu yang sempit ini, membuat petugas KPPS kelabakan. Mereka harus menguras seluruh energinya. Habis-habisan.
Mereka mulai bekerja dari jam 6 pagi di hari pencoblosan. Lantas menghitung suara. Dan seluruh proses baru selesai jam 8 pagi keesokan harinya. Melelahkan pastinya.
Padahal, yang dipilih jadi ketua KPPS pasti ketua RW atau Ketua RT. “Mayoritas mereka sudah sepuh,” tambah Arya, kandidat doktor ilmu sosial ini.
Waktu yang sempit ini, membuat petugas KPPS kelabakan. Mereka harus menguras seluruh energinya. Habis-habisan.
Dia mencontohkan, ketua KPPS di daerahnya. Seorang pensiunan guru. Usianya sudah 76 tahun. Seusai proses administrasi Pemilu, sang ketua KPPS, terkapar.
Dia masuk rumah sakit. Bedrest. “Kadar gulanya drop. Untung, dia ngga lewat,” paparnya.
Sebenarnya, adakah solusinya? Ternyata, banyak aspek yang bisa dibenahi. Oleh KPU tentu saja.
Pertama, tim KPPS harus ditambah. Dibuat shift, ada pergantian. Ini paling gampang, karena tidak perlu mengubah UU Pemilu.
Kedua, KPU harus melakukan lebih banyak pelatihan buat KPPS. Pesertanya juga diperluas. Agar semuanya memahami hal teknis secara benar.
Banyak terjadi, waktu habis karena perdebatan sesama anggota KPPS. Yang ikut pelatihan cuma satu, tapi anggota yang lain merasa tahu. Berabe jadinya.
Ketiga, terkait kesehatan dan keselamatan, KPU seharusnya mengeluarkan surat tugas resmi. Sehingga petugas bisa mengajukan cuti ke tempat kerja. Cuti sebelum dan setelah pencoblosan.
Banyak terjadi, waktu habis karena perdebatan sesama anggota KPPS. Yang ikut pelatihan cuma satu, tapi anggota yang lain merasa tahu. Berabe jadinya.
Yang tak kalah merepotkan, KPPS sangat disibukkan urusan administrasi. Yakni pengisian blanko, C1, hingga amplop-amplopnya. Semunya harus dibuat rangkap, sesuai jumlah saksi partai.
Jadi, kalau saksi setiap partai hadir, KPPS harus membuat 20 rangkap. Dengan tulisan tangan. “Menggunakan bolpoin wajib tinta biru,” terang Arya.
Makanya, kecil kemungkinan kecurangan ada di TPS. Lha wong, yang ngawasi banyak pisan. Karena setiap partai punya rekap C1.
“Jadi, kalau ada yang menuduh terjadi kecurangan di TPS, saya doakan, bibirnya semplak,” pungkas Arya.
Ajar Edi, kolumnis ngopibareng.id
Advertisement