Tragedi Kemanusiaan, PBNU Kutuk Aksi Terorisme di Sigi
Tragedi kemanusiaan yang menewaskan empat jiwa dalam satu keluarga di Sigi, Sulawesi Tengah menjadi perhatian serius pelbagai kalangan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengutuk aksi penyerangan dan teror yang menewaskan satu keluarga di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
“Apapaun motifnya, aksi kekerasan dan tindakan melukai kemanusiaan tidaklah dapat dibenarkan,” Ketua Harian Tanfiziyah PBNU, Robikin Emhas, Minggu 29 November 2020.
Pihaknya berharap, polisi harus bertindak cepat, terukur, dan profesional dalam mengusut insiden penyerangan ini. “Deteksi segera motif dan pola kekerasan dan temukan aktor intelektual dan pelakunya. Proses sesuai hukum yang berlaku,” katanya.
Dikatakan Robikin, belajar dari peristiwa serupa sebelumnya, aksi penyerangan dan pembakaran adalah tindakan teror yang sengaja untuk menyebarkan rasa takut di masyarakat.
“Kelompok-kelompok penebar teror seperti ini tidak berhak mengatasnamakan elemen agama. Karena agama apapun tidak ada yang membenarkan. Teror juga merupakan tindakan anti kemanusiaan,” katanya.
Menurut Robikin, harus ada langkah preventif agar kasus ini tidak kemudian merembet menjadi sentimen keagamaan yang dapat merusak kerukunan antarumat yang sudah dibangun bersama dengan baik.
“Jangan ada pihak manapun yang terprovokasi dan membalasnya dengan kekerasan. Apalagi mendasarinya dengan kebencian atas dasar sentimen-sentimen sektarian,” katanya.
Sikap seperti ini, kata Robikin, hanya akan melahirkan saling curiga dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa yang pada gilirannya dapat merembet menjadi gangguan keamanan serius.
Menurutnya, pengalaman pahit konflik agama di Poso cukup menjadi sejarah kelam di masa lalu.
“Mari ambil sebagai pelajaran. Mari perkuatan anyaman kebersamaan kita sebagai sesama anak bangsa dan sebagai saudara dalam kemanusiaan. Perkuat toleransi dan saling menghormati satu sama lain,” katanya.
Karena itu, generasi penerus bangsa lebih berhak menyerap energi postif dari kita.
“Bukan luka dan dendam sejarah,” tutur Robikin.
Advertisement