Tragedi Kanjuruhan dan Fanatisme Bola
Tragedi di lapangan bola kembali terjadi. Bahkan lebih miris lagi. Karena korban meninggal lebih dari seratus orang. Tepatnya, 129 orang –sampai siang ini, Minggu, 2 Oktober 2022. Paska pertandingan antara Arema FC dan Persebaya.
Sabtu kelabu ini bisa disebut sebagai Tragedi Kanjuruhan. Kerusuhan suporter Arema yang dikenal dengan sebutan Aremania. Dengan korban tewas dan lupa Aremania pula. Plus dua polisi yang sedang bertugas.
Inilah tragedi bola dengan korban tewas terbesar kedua di dunia. Setelah Peru yang pernah menewaskan lebih dari 300 fans klub bola di negaranya. Tragedi Kanjuruhan terbesar dalam sejarah sepakbola di Indonesia.
Kita berduka. Sepakbola Indonesia berbelasungkawa. Semua bangsa ini pasti ikut menangis. Sebuah hiburan olah raga berakhir keributan. Berangkat cari hiburan, yang didapat kuburan. Berduka untuk seluruh korban dan keluarganya.
Tragedi Kanjuruhan telah mengakibatkan ratusan anak manusia meregang nyawa. Karena berdesakan keluar stadion akibat gas air mata yang ditembakkan ke mereka di lapangan. Setelah terjadi bentrok dengan aparat keamanan di dalam lapangan.
Ini bukan tawuran antar suporter. Karena sejarah permusuhan pendukung Persebaya dan Arema yang sejak lama sulit diurai, pertandingan derby Jatim selalu hanya boleh ditonton salah satu pendukung tim. Di masing-masing pertandingan kandang maupun tandang.
Semua orang tahu, segala upaya menyatukan Aremania dan Bonekmania belum menuai hasil. Fanatisme dan sejarah perjumpaan antar dua klub besar di Jatim ini membuat “perseteruan” keduanya sulit diurai. Hingga kini.
Saya sedih. Ini menjadi deretan sejarah kelam sepak bola di Indonesia. Yang dipicu oleh fanatisme berlebihan. Yang ditopang dengan ekosistem pembinaan, tata kelola, dan tangan-tangan jahat yang tak tulus ketika mengelola klub sepakbola. Yang menjadikan bola sebagai bagian dari syahwat lainnya.
Tragedi Kanjuruhan membuka luka lama yang sampai kini masih membekas di hati. Ketika saya sempat sejenak mendapat amanah menangani Persebaya. Klub bola Indonesia yang juga memiliki suporter paling fanatik di negeri ini.
Apalagi peristiwanya juga terkait dengan Arema. Dalam derby Jatim yang berlangsung di Stadion Tambaksari Surabaya. Pada 4 September 2006. Ketika itu, Persebaya dikalahkan Arema di kandangnya. Bonek lantas ngamuk dan membakar mobil media dan polisi di depan stadion. Tak sampai ada korban jiwa.
Peristiwa tersebut terjadi saat saya dalam tugas dinas ke luar negeri. Di Guangzhou, China. Manajernya Persebya Indah Kurnia. Rasanya sungguh menyakitkan. Sejumlah agenda dinas terpaksa tidak berlangsung lancar. Sebab harus koordinasi langkah-langkah mitigasi dengan Surabaya.
Namun, Bonekmania kemudian banyak belajar dari peristiwa masa lalunya. Mereka telah bertransformasi menjadi suporter fanatik yang jauh lebih baik sekarang. Bahkan, jika ada yang membuat ulah, kini Bonekmania lainnya yang justru kencang membully-nya. Sayang transformasi itu sempat dirusak dengan ulah merusak bulan lalu.
Jadi, tragedi Kanjuruhan ini sebetulnya bukan kali pertama terjadi. Namun, inilah tragedi di lapangan sepak bola dengan korban tewas terbanyak. Tidak hanya di Indonesia. Juga terbanyak kedua di dunia. Sungguh menyedihkah.
Kebanyakan, pemicu kerusuhan akibat tak terima dengan kekalahan klub yang dibelanya. Ini jenis fanatisme yang berlebihan. Dari suporter klub sepak bola di Indonesia. Di Inggris, holiganisme –fenomena yang serupa– juga pernah terjadi.
Tapi fanatisme bukan semata menjadi penyebab kerusuhan. Tata kelola pertandingan, sistem pengamanan, dan penegakan hukum olah raga menjadi bagian penting untuk menghindari peristiwa seperti Tragedi Kanjuruhan bisa terulang. Juga infrastruktur lapangan yang aman bagi massa yang banyak.
Belajar dari transformasi Bonekmania, mengalihkan fanatisme bola ke berbagai kegiatan positif lainnya sangat bermakna. Misalnya dengan menggelar kegiatan-kegiatan sosial di luar sepak bola. Seperti keteribatan dalam penanganan bencana dan sebagainya.
Menurut saya, transformasi bonekmania mulai menampakkan hasil karena membesarnya kelas menengah bonek. Mereka adalah pecinta Persebaya dari kalangan terdidik dan berkecukupan. Mereka belakangan sangat aktif melakukan gerakan perubahan.
Bonekmania –juga Aremania dan lain-lain– di Indonesia tumbuh bukan sekadar suporter klub bola. Ia telah mengejawantah menjadi identitas sosial. Yang membedakan mereka dengan kelompok sosial lainnya. Karena itu, sikap dan tindakannya mencerminkan dinamika sosial yang terjadi di dalamnya.
Karena itu, mereka sebetulnya bukan sekadar obyek. Apalagi diperlakukan sebagai sekadar target pasar penonton hiburan pertandingan sepak bola. Memperlakukan suporter bola hanya sebagai obyek pasar sama artinya memanfaatkan fanatisme mereka untuk kepentingan bisnis.
Dalam era industri sepakbola, suporter haruslah dianggap sebagai aset. Yang memberi peran besar dalam mendongkrak value klub yang didukungnya. Karena itu, klub harus ikut bertanggungjawab dalam membina mereka. Memperkokoh nilai-nilai sportivitas dalam sepakbola.
Tentu, ini bukan beban ringan bagi klub. Ini bukan pekerjaan instan yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Butuh kesabaran, butuh ketekunan, dan tentu butuh nafas panjang. Sambil berharap federasi bola, aparat keamanan, dan stake holder lainnya meningkatkan kompetensinya di era baru sepakbola.