Tragedi Kanjuruhan, Amnesty International: Hukum Seadiil-adilnya
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, dalam waktu yang singkat, aparat keamanan meletuskan 45 tembakan gas air mata. ”Ini sungguh sebuah penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tidak bisa dibenarkan," tegasnya dalam pernyataan tertulis Kamis 3 November 2022.
Penegasan Usman Hamid itu menanggapi hasil investigasi Komnas HAM terkait Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu 1 Oktober 2022.
Menurut Usman Hamid, "Bahkan, di rentang waktu tersebut, ada 11 tembakan yang dilakukan dalam kurun waktu sembilan detik. Dan ini dilakukan di area terbatas di mana penonton terkurung. Sadis."
Usman melanjutkan, "Kami mengingatkan hasil investigasi Komnas HAM bukan akhir dari penanganan kasus ini. Tapi justru mempertegas tanggung jawab negara untuk menyelesaikan tragedi pelanggaran HAM ini secara benar dan dengan seadil-adilnya.”
"Bawa semua pelaku, semua yang terlibat, semua yang bertanggungjawab ke pengadilan, tanpa terkecuali. Proses hukum mereka dalam persidangan umum yang terbuka dan independen.”
"Jatuhnya nyawa 135 korban sangat tidak adil jika dijawab hanya dengan sanksi ringan seperti pendisiplinan berupa mutasi atau pemecatan. Itu jauh dari timbangan keadilan. Masyarakat menunggu bukti komitmen otoritas negara untuk menegakkan hukum yang berlandaskan keadilan korban dan keluarganya."
Hasil Investigasi Komnas HAM
Pada hari Rabu 2 November 2022, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM) mengumumkan hasil investigasi mereka atas Tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 135 orang.
Komnas HAM menyebut bahwa tragedi Kanjuruhan merupakan pelanggaran hak asasi manusia akibat pengelolaan pertandingan sepakbola yang tidak mengedepankan keamanan dan keselamatan dan terjadi akibat adanya penggunaan kekuatan berlebihan dari aparat keamanan.
Dalam keterangan kepada awak media, Komnas HAM menyampaikan temuan mereka bahwa aparat menembakkan setidaknya 45 tembakan gas air mata, 27 tembakan terlihat dalam video sementara 18 lainnya terkonfirmasi dari suara tembakan, di dalam stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober malam.
Bahkan, Komnas HAM menyebut penembakan gas air mata dilakukan tanpa koordinasi dengan Kapolres Malang dan atas diskresi dari masing-masing pasukan.
Laporan Komnas mengatakan aparat yang menembakkan gas air mata di dalam stadion merupakan unsur gabungan Brimob dan Sabhara.
Tembakan gas air mata diketahui mulai terjadi sekitar pukul 22.08.59 WIB. Dari detik ini hingga 22.09.08 WIB, pasukan Brimob tercatat 11 kali menembakkan gas air mata ke arah selatan lapangan Stadion Kanjuruhan.
Panduan hak asasi manusia untuk aparat penegak hukum Amnesty International, yang disusun berdasarkan ‘UN Code of Conduct for Law Enforcement Officials’, menyebut bahwa gas air mata tergolong sebagai senjata yang kurang mematikan atau ‘less-lethal weapon’ yang menjadi alternatif dari penggunaan senjata api konvensional. Meski demikian, apabila digunakan dalam konteks dan cara yang berlebihan, dampak ‘less-lethal weapon’ juga dapat mematikan.
Secara umum, paparan gas air mata menyebabkan sensasi terbakar dan memicu mata berair, batuk, rasa sesak di dada dan gangguan pernafasan serta iritasi kulit. Dalam banyak kasus, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit.
Namun demikian, efek gas air mata memiliki dampak yang berbeda ke tiap orang. Anak-anak, perempuan hamil dan lansia lebih rentan terhadap efeknya. Tingkat keracunan dapat berbeda pula bergantung dari spesifikasi produk, kuantitas yang digunakan, dan lingkungan di mana gas air mata ditembakkan. Kontak dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan beberapa risiko kesehatan. Di berbagai negara gas air mata rentan disalahgunakan antara lain karena kurangnya pelatihan pihak kepolisian terkait penggunaannya.
Advertisement