Tradisi Ithuk-ithukan, Cara Masyarakat Using Banyuwangi Syukuri Nikmat Air
Masyarakat suku Osing Dusun Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, menggelar tradisi adat Ithuk-ithukan. Tradisi ini digelar masyarakat suku asli Banyuwangi sebagai ungkapan rasa syukur atas sumber mata air Mengarang yang terus mengalirkan air bagi masyarakat.
Tradisi Ithuk-ithukan ini dilaksanakan Selasa, 21 Mei 2024. Ritual ini digelar setiap setahun sekali tepatnya setiap tanggal 12 Dzulqa'dah. Sesepuh adat Dusun Rejopuro, Sarino, mengatakan, tradisi ini bentuk rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas anugerah sumber mata air yang hingga saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai kebutuhan sehari-hari. "Ini merupakan rasa syukur kami atas sumber mata air yang melimpah," jelasnya.
Ritual Ithuk-ithukan ini diawali dengan mendoakan ithuk (wadah dari lipatan daun pisang berisi nasi lengkap dengan lauk pecel pitik). Ithuk kemudian diarak diiringi kesenian Barong Cilik Sukma Kencana dan Kuntulan Putri Kembar. Para wanitanya, berbaris membawa ithuk berjalan ke arah timur untuk dibagikan kepada warga. Setelah selesai, mereka lalu berputar arah berjalan ke arah barat menuju sumber mata air.
Sesampainya di sumber mata air, bekal ithuk pecel pitik tersebut dimakan secara bersama-sama. Menurut Sarino, tradisi ini sudah berjalan sejak zaman leluhur dusun setempat yakni sekitar tahun 1617-an.
Tradisi ini juga sebagai ajang silaturahmi antar warga di dusun tersebut. Dalam tradisi Ithuk-ithukan setiap warga Dusun Rejopuro ikut serta menikmati ithuk-ithukan yang sudah diarak dan didoakan. Bahkan bagi warga yang sakit dan tidak bisa mengikuti upacara, ithuk-ithukan diantar ke rumahnya, sehingga dalam tradisi ini terdapat nilai-nilai kebersamaan.
Camat Glagah, Sri Widianto, menyatakan, pelaksanaan tradisi ithuk-ithukan ini dilakukan sebagai bentuk pelestarian tradisi dan budaya masyarakat. Selain melestarikan budaya, tradisi ini juga bisa menjadi atraksi wisata. "Tradisi ini bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan," katanya.
Dia menyebut, pelaksanaan tradisi ini sekaligus mendukung pelaksanaan World Water Forum (WWF) di Bali. Tradisi ini wujud nyata dalam pelestarian air untuk kehidupan. "Ini cara masyarakat untuk menjaga dan mensyukuri nikmat air yang selalu melimpah," ungkapnya.
Advertisement